Oleh : Umi Sholehah
Ketika aku bangun tidur, entah
mengapa badanku pegal dan ngilu. Capek sekali seperti habis berolahraga,
padahal tidak. Aaah mungkin karena terlalu
banyak tidur sehingga badan terasa lelah. Aku meregangkan badanku. Mengangkat kedua
tangan ke atas, menarik bagian abdomenku keatas, kekiri dan kekanan. Ketika itu
tulang-tulangku berbunyi seolah pertanda kalau sudah lurus.
Langsung ku nyalakan android
genggamku yang memang sengaja ku matikan. Ternyata waktu sudah menunjukkan
pukul dua siang. Beberapa pesan di whatshapp
masuk. Beberapa aku abaikan, dua pesan ku baca dan ku balas. Satu pesan dari
ibuku yang menanyakan kabar dan kapan pulang. Satu lagi pesan dari pacarku yang
menanyakan aku dimana? Kenapa handphone
dimatikan? Dan masih banyak lagi pesan-pesan yang dikirimnya padaku. Entah itu
sebuah kekhawatiran atau bentuk dari ke posesifan. Namun begitulah sifat
perempuan dengan banyak rahasia dalam dirinya. Jika sudah begitu aku harus
membalasnya dengan kalimat yang panjang, menjelaskan secara rinci dan tak
lupa memberikan emotikon hati atau kiss.
Tujuannya agar dia luluh dan tidak menanyakan kembali alasanku mematikan
handphone selama tiga hari ini.
“Iya sayang, tapi kan gak
harus dimatiin selama tiga hari dan gak ngasih kabar sama sekali.” Kembali ia
menuliskan pesan yang membuatku harus menjelaskan berulang kali. Aku menghela
nafas. Belum sempat aku membalas, sudah banyak lagi kata-kata yang ia tuliskan. Aku
tidak tahu tujuannya untuk menyudutkanku atau benar-benar menanyai kabarku. Lagi-lagi, dasar perempuan.
“Sayang aku capek, baru bangun.
Aku mandi dulu ya. Nanti aku video call
sebagai gantinya atau kalau perlu pulang kerja aku jemput ya…” Tak lupa emotikon
kiss ku sematkan sebagai penutup kalimatku pengganti tanda titik. Ia pun
luluh dan memaafkanku dengan setengah hati dan pastinya menggerutu. Aku sudah tahu
wataknya setelah tiga tahun menjalin
hubungan asmara yang cukup rumit dengannya. Aku tidak tahu kata-kata manis dan
emot-emot itukah yang telah mempertahankan hubunganku ini. Kalau iya, aku sangat
berterimakasih kepada pencipta emotikon-emotikan itu.
Setelah pergulatan dengan
pacarku usai, segera aku mengambil handuk dan mengantri mandi. Tapi syukurlah
aku tidak perlu mengantri panjang, karena ternyata beberapa anak kos sudah pergi
dengan urusannya masing-masing. Ada yang ngampus, ada yang kerja sebagai ojek online, ada yang pergi ke sekolah untuk mengajar,
ada juga yang hanya pergi main dengan pacarnya. Kalau aku. Aku hanya menunggu
giliran mandi setelah satu teman kosku selesai.
Sepertinya ia sudah selesai. Gemericik
air sudah tidak terdengar, aku keluar dan bersiap untuk mandi. Dia keluar kamar
mandi.
“Eeeh mas baru keliatan.”
“Hehehe iya.”
“Kemana to mas? Kemaren Mbak Iren
nyariin mas kesini. Ku pikir mas lagi pulang.”
“Owlaah iya to? Hehehe gak kemana-kemana
kok. Makasih ya. Aku mandi dulu.” Sebegitu sayangnya dia terhadapku hingga mencari
sampai ke kos. Tapi untunglah aku tidak ketemu. Aku segera menyelesaikan
mandiku dan harus menjemput Iren di tempat kerjanya karena sudah terlanjur
janji. Bagiku laki-laki sejati itu pantang mengingkari janjinya.
Pukul tiga tepat, aku bersiap
menjemput pacarku. Sebelumnya aku sudah mengabari Iren kalau menjemputnya lebih awal.
Karena takut macet dan telat menjemput. Bagiku datang awal lebih baik daripada
datang diakhir supaya tidak menimbulkan masalah di kemudian waktu. Aku mencari
kunci motor dan memanaskannya. Sudah tiga hari aku tidak keluar dan motor tidak
ku panaskan mesinnya. Waktu Sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas
menit, aku bergegas melenggang di jalan raya. Menyalip setiap mobil dan motor
yang ada di depanku. Kebetulan cuaca tidak terlalu panas, dan sesuai prediksiku
jalanan lumayan ramai. Ku tambahkan kecepatan motorku sebelum melawati rambu-rambu
lalu lintas yang tujuh detik lagi berwarna merah. Dan aku lolos dari jeratan
lampu merah menyebalkan itu.
Aku sampai di tempat kerja pacarku
pukul tiga lebih lima puluh lima menit. Melewati banyaknya kendaraan yang sebentar
lagi akan macet. Itulah yang mengharuskanku melewati jalan tikus ketika
pulang nanti, agar terhidar dari kemacetan jalan di Yogyakarta. Entah mengapa
jalanan di kota ini semakin hari semakin macet. Banyak orang dari berbagai
daerah yang berduyun-duyun ke sini untuk sekedar belajar, mencari kerja, atau
menganggur seperti aku. Setelah monolog dipikiranku usai, ternyata pacarku sudah keluar
dari gedung tempat kerjanya berjalan menghampiriku. Mukanya seperti murka namun masih terlihat manis. Sebetulnya
aku memacarinya karena tertarik melihat wajahnya yang imut dan manis.
“Kamu kemana aja si aku
nyariin tau…..” sebelum ia banyak mengoceh di keramaian aku menyuruhnya naik
dengan nada lembut dibalut dengan senyuman. Ia menuruti perkataanku. Aku mulai
menghidupkan motor dan kembali melenggang di jalan raya. Suasana menjadi
hening. Hanya angin, suara knalpot motor dan mobil yang ku dengar. Sesekali bunyi
klakson pun terdengar dari beberapa motor dan mobil di sekitarku. Aku sudah tau
apa yang harus ku lakukan. Aku harus memulai pembicaraan. Karena disini aku
adalah tersangka. Tersangka yang melarikan diri dan tidak mengabarinya. Baiklah
aku mengalah.
“Mut….” Itu adalah panggilan sayang dariku untuknya karena
keimutan wajahnya. Tapi ia tidak menanggapi. Aku coba sekali lagi mungkin ia
tidak dengar.
“Mut. Kita lewat jalan tikus
aja ya? Soalnya jalanan macet banget.”
“Ya, kayak biasanya aja. Kamu kan
tau.” Ia menjawab dengan ketus. Ekspresi kekesalannya bisa ku lihat dari spion.
Aku mulai tidak enak dengannya. Merasa bersalah. Aku akan coba ajak dia ngobrol
sekali lagi.
“Mut, tau gak, tadi pas aku berangkat
jemput kamu jalanan macet loh. Terus aku ngebutkan nyalip-nyalip gitu mut. Tujuh
detik sebelum lampu merah aku nguebut mut. Percaya gak?”Aku bercerita soal kejadian
aku ngebut-ngebutan agar dia berusaha menegurku dan terjadi percakapan diantara
aku dan dia. Walapun sebenarnya ucapanku itu gak penting. Dan benar saja, pacarku
langsung membuka percakapan dengan memukul punggungku seolah memarahiku untuk
tidak ngebut-ngebutan lagi. Aku menggoyang-goyangkan motor sengaja menggodanya
agar ia tidak marah lagi. aku melihat dari spion sudah ada senyum simpul di
wajahnya. Aku lega.
Sebelum aku mengantarnya pulang,
dia mengajakku untuk makan di soto batok. Letaknya tidak jauh dari Candi Sambisari.
Ini adalah soto favoritku dan pacarku. Sekali makan aku bisa menghabiskan tiga
sampai empat mangkuk. Benar saja, karena porsinya kecil. Seperti namanya soto
batok ya wadahnya pakai batok. Pacarku saja biasanya menghabiskan dua sampai
tiga mangkuk. Suasana di sini sangatlah nyaman. Aku dan pacarku duduk di gazebo
kecil paling belakang yang hanya muat berdua.
Angin berhembus lembut menyapa
kami berdua. Suara angin yang menyapa padi pun terdengar. Pacarku diam. Ia melepaskan
jaket dan merapikan rambutnya yang sedikit teracak-acak oleh angin. Ia lalu
memutuskan untuk mengikat rambutnya. Hal itu membuatnya semakin cantik. Entah aku
harus bersyukur atau bagaimana tapi terimakasih Tuhan sudah memberikan dia
untuk menemaniku di kota ini. Aku melihatnya, dia melihatku. Kami saling berpandangan
dan aku tersenyum. Dia pun tersenyum kecut. Pertanda masalahku belum selesai. Dan
aku harus selesaikan sekarang. Terpaksa aku harus mulai membuka obrolan, lagi-lagi
karena aku tau ini adalah kesalahanku.
“Mut. Maaf ya. Jangan ngambek.”
Aku hanya harus meminta maaf padanya agar ia luluh kembali. Biasanya ia akan segera
memaafkanku, dia adalah pasangan pemaaf selama aku menjalin hubungan dengan
seorang perempuan.
“Kamu kenapa si sebenernya? Gak
usah maaf-maaflah. Tiga hari loh kamu ngilang gak ada kabar. Aku gak bisa hubungin
siapa-siapa? Aku ke kosmu, kamu gak ada. Kamu ada masalah apa sih? Kamu tu gak
biasa-biasanya kayak gini. Kamu gak cerita sama aku. Tiba-tiba ngilang gitu
aja.”
Ternyata aku salah. Sepertinya
kali ini pacarku bukan pemaaf yang baik. Kembali aku harus berurusan dengan
pertanyaan itu, tapi tentu aku tidak akan menjelaskan alasanku ini.
“Mut. Kamu khawatir sama aku?”
“Menurutmu?”
“Ya iya kelihatan dari
ekspresimu.”
“Terus?”
“Terus apa?”
“Ya kamu jelasin ke aku, alasan
kamu ngilang itu kenapa? Aku ada salah sama kamu? Bilang dong? Jangan kayak
anak kecil yang ngambekan?”
Aku terkaget ketika ia
berbicara seperti itu. Aku bingung harus berkata apa.
“Aku cuman ingin sendiri.
Berkontemplasi.” Justru kata itu yang keluar dari mulutku.
“Maksudmu, kamu mau putus?”
Dan benar ia salah sangka
kepadaku. Aku menjelaskan bahwa aku tidak ingin putus. Aku hanya butuh waktu
untuk sendiri. Berkontemplasi. Memikirkan tentang aku dan tentang kita ke depan
harus bagaimana.
“Apa semuanya gara-gara ayahku
nanya kapan kamu mau lamar aku?”
Aku terdiam mendengar
pertanyaannya.
“Jawab?” Ungkapnya dengan
lirih.
Sementara aku diam. Pelayan yang
membawa soto untuk kami sudah tiba. Memecahkan segala keheningan. Aku sibuk
membantu si pelayan memberikan soto kepada Iren. Iren hanya menatapku dan
menyambut mangkuk soto dari tanganku. Lalu meracik sotonya. Memberikan jeruk
nipis dan sedikit sambal. Sebelum ia melahap sotonya ia menghela napas dan
mengatakan sesuatu.
“Kamu gak mau jawab. Berarti aku
anggap itu bener.”
Aku masih terdiam dan hanya makan soto diiringi oleh suara dedaunan yang disapa angin dan riuhnya suara
orang-orang di tempat ini. Hingga akhirnya aku mengantarnya pulang. Aku hanya
mengucapkan terimakasih sudah mengkhawatirkanku dan mencarinya hingga ke kosku.
Dia hanya membalas dengan senyuman dan sebuah kalimat ‘hati-hati di jalan’. Aku
menunggunya hingga ia masuk ke dalam kos. Memastikan bahwa dia aman.
Sesampainya di kos. Sudah
pukul delapan malam. Aku hanya diam memikirkan perkataannya dan semua kejadian
hari ini dan tiga hari lalu. Aku merasa bodoh. Sungguh aku ingin mencurahkan
segala isi hatiku padanya. Aku belum siap untuk menikah. Aku belum siap menanggung
semua beban. Aku sang pengangguran ini memikirkan kebaikanmu, memikirkan masa
depanmu. Aku tidak mau kau hidup dalam keadaan sengsara. Sudah berapa kali aku
melamar pekerjaan yang cukup layak. Namun, beberapa kali itu pula aku tertolak.
Alasannya selalu klise aku belum ada pengalaman kerja. Atau pengalaman kerjaku
tidak sesuai dengan bidang yang aku daftarkan. Aku pun tidak punya cukup uang
untuk membayar sebuah jabatan di perusahaan atau tempat kerja lainnya untukku
bekerja. Aku memang bukan pengangguran penuh, aku hanya bekerja di kafe kecil
milik temanku. Dan aku sadar itu tidak akan cukup untuk menghidupi keluargaku kelak.
Belum lagi aku tahu ayahmu sangat mengharapkan agar kamu mendapatkan pria yang
mapan. Sudah tentu aku setuju, bila aku punya seorang putri aku pun begitu. Mana
ada orang tua yang membiarkan anak perempuannya hidup menderita dengan pria
yang masih belum mapan. Kecuali dia adalah putri orang kaya. Dunia kian membesar sayang. Aku kian mengecil. Persaingan
semakin banyak. Aku hanya butuh waktu sendiri untuk menanggulagi pergolakan batinku. Aku
hanya butuh waktu, tapi aku sadar waktu sudah banyak menelanku. Tapi aku merasa
kecil tidak bisa memberikanmu sebuah janji kehidupan yang layak di masa depan.
Aku hanya diam. Aku tenggelam
dalam ketakutanku akan masa depan. Aku tenggelam dalam ketakutanku jika
sewaktu-waktu kehilanganmu. Seseorang yang sudah menemaniku selama ini. Seseorang
yang sudah mengisi kekosongan hari-hariku. Seseorang yang selalu memberiku
semangat, walaupun dia tau tidak akan mendapat apa-apa dariku. Aku tenggelam dalam
keragu-raguanku akan menjalani hidup. Sesuatu yang sudah ku takutkan sebelum
semuanya terjadi. Aku seorang pria yang menenggelamkan diri dalam sebuah
ketakutan. Ku banting botol air mineral di meja samping tempat tidurku, sebagai
tanda kekesalan dan kekecewaan terhadap diriku sendiri yang tidak bisa berbuat
apa-apa.
Sementara aku kesal dengan
diri sendiri, nada handphoneku berbunyi
tanda ada pesan masuk. Ku lihat, benar saja ada dua pesan masuk. Satu dari
ibuku dan satu dari Iren. Ibuku bertanya kabarku dan menanyakan kapan aku pulang. Sementara
Iren mengirimiku pesan yang membuatku terkejut.
“Mas, aku tahu kamu belum siap
untuk menikah. Maka dari itu, aku tidak akan memaksamu untuk cepat-cepat menikahiku. Aku akan
bilang ke ayah dan mencari alasannya. Aku harap kamu tenang dan berpikir jernih.
Menyendiri dan menyimpan masalah sendiri itu tidak akan membuahkan hasil. Kamu tau
kan kalau aku selalu ada buatmu. Aku selalu dukung keputusan yang kamu ambil,
karena aku tahu kamu adalah orang yang teliti dan berhati-hati dalam mengambil
keputusan. Aku juga tidak akan memintamu untuk menjelaskan ulang kenapa kamu tidak
mengabariku. Aku juga tidak akan memintamu untuk putus hubungan denganku. Tapi
setidaknya kamu harus mencoba kembali berjuang, kamu harus kembali berjuang
untuk dirimu sendiri. Semoga kamu tidak melakukan hal-hal bodoh di luar nalarmu
hehe. Aku mencintaimu.”
“Oh iya kemarin aku datang ke
kosmu, buat ngasih tau ke kamu. Kalau kamu lulus administrasi masuk ke
perusahaan miliki ayahnya temanku. Kamu ingatkan pas aku minta kamu buat
nyiapin berkas-berkas lamaran. Ternyata pengumumannya tiga hari yang lalu mas. Dan
wawancaranya masih bisa kamu persiapkan lima hari lagi dari sekarang. Kamu masih
punya harapan. Jadi, jangan patah semangat. Dan saranku kamu lebih baik pulang
dulu temui bapak ibumu. Minta restu. Jangan mengabaikan mereka lagi ya. Selamat
Istirahat.”
Aku membaca semua pesan dari
Iren. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku baru menyadari bahwa masih ada dia yang
selalu mendukungku. Masih ada orang tuaku yang selalu mengasihiku. Mulai saat ini aku memutuskan untuk kembali lagi berjuang. Dengan cepat aku menelfon Ibuku dan mengabarinya bahwa besok aku pulang
ke Purwokerto tempat lahirku.
Komentar
Posting Komentar