BAB I
PENDAHULUAN
Allah Subhanallah Wata’ala telah menjadikan manusia masing-masing
berhajat kepada yang lain, supaya mereka bertolong-tolongan, tukar-menukar
keperluan, dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan
jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam atau perusahaan dan lain-lain.
Baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemslahatan umum. Dengan cara
demikian hidup mayarakat menjadi teatur dan subur serta pertalian yang satu
dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi oleh karena sifat tamak tetap ada
pada manusia, suka mementingkan diri sendiri, agar supaya hak masing-masing
jang sampai sia-sia dan juga menjaga kemslahatan umum, agar pertukaran dapat
berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang
sebaik-baiknya karena dengan teraturnya muamalah penghidupan manusia menjadi
terjamin sebaik-baiknya, perbantahan dan dendam mendendam tidak akan terjadi.
Nasehat lukmanul hakim pada anaknya. “ hai anakku berusahalah yntuk
menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal sesungguhnya orang yang
berusaha dengan jalan yang halal itu, tidaklah dia akan mendapat kemiskinan
kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit; 1) tipis
kepercayaan agamanya; 2) lemah akalnya; 3) hilang kesopanannya.
Jadi, yang dimaksud dengan muamalah adalah tukar menukar barang
atau sesuatu yang lebih bermanfaat dengan cara yang telah ditentukan seperti
jual beli, sewa menyewah, upah mengupah, minjam-meminjam, bercocok tanam,
berserikat dan lain – lain.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Mudharabah
2.1.1
Pengertian
Mudharabah
Mudharabah diambil dari lafadz Ad-Drarb Fi Al-ard yaitu perjalanan
untuk berdagang. [1]
Firman Allah :
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه
Artinya : Dan yang lain, mereka bepergian di
muka bumi mencari karunia dari Allah.(Q.S. : 73 :20)
Adapula yang menyebutkan qiradh dan
mudhrabah yang berasal dari lafadz Al-qardhu yang berarti Al Qath’u (memotong),
sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada
pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan
potongan dari laba yang diperoleh.
Definisi mudhrabah yaitu akad antara
kedua belah pihak untuk sahnya seorang (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah
uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan. Dan laba dibagi dua sesuai
kesepakatan. [2]
Wabah Az-Zuhailli dalam al-Fiqih
al-islam wal adillatuhu mengatakan bahwa definisi Mudharabah adalah pemilik
harta (robbul mal) memberikan kepada mudharib (orang yang bekerja atau
pengusaha) suatu harta supaya dia mengelola dalam bisnis dan keuntungan dibagi
diantara mereka berdua mengikuti syarat yang mereka buat.
Sedangkan, Afzalur Rahman memberikan
definisi Mudharabah sebagai suatu kontrak kemitraan (pertnership) yang
berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya
kepada orang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi
keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.
Pihak pertama, supplier atau pemilik modal, disebut shahibul mal dan pihak
kedua, pemakai atau pengelola atau pengusaha disebut mudharib. [3]
Jadi secara lengkap, Mudharabah adalah
akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama (shahibul mall)
menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola,
keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola maka ia harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
2.1.2
Dasar hukum
mudharabah
Secara umum, landasan syari’ah
Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, hal ini tampak
dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini.
1.
Al-Qur’an
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ الله
Artinya : Dan
yang lain, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah. (QS. 73:
20)
Yang menjadi wajhud atau argumen
dari surat Al-Muzzammil ayat 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan
akar kata Mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Yang
dimaksud yaitu perjalanan dari suatu tempat untuk berdagang mencari rizki dan
mencari harta halal.
2.
Hadist
عَنْ صَالِحِ بْنِ صُهَيْبَ عَنْ أَبِيْهَ قَالَ رَسُوْلَ االلهِ
صَلَّى االلهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ فِيْهِنَّ اَلْبَرَآَهُ البَيْعَ إِلَى
أَجَلِ وَاْلمُقَارَضَةِ وَاْلخِلاَطَ اْلَبَرُّباِلشَّحِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ
لِلْبَيْعِ
Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa
Rasulullah saw bersabda,”tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual
beli secara tangguh, muqaradhah (Mudharabah), dan mencampuri gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”(HR. Ibnu Majah No.
2280, kitab AtTijarah).
3.
Ijma’
Rasululah pernah melakukan mudharabah
dengan Khadijah, dengan modal daripadanya (Khadijah) beliau pergi ke syam
dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat
menjadi Rasul.
4.
Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan
dengan transaksi musaqah (mengambil upah untuk menyiram tanaman). Ditinjau dari
segi kebutuhan manusia, karena sebagian orang ada yang kaya dan ada yang
miskin, terkadang sebagian orang memiliki harta tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya
dan ada juga orang yang tidak mempunyai harta tetapi mempunyai kemampuan
memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua
belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
2.1.3
Rukun dan
syarat Mudhabarah
Menurut ulama’
mazhab Hanafi, rukun Mudharabah tersebut hanyalah ijab (ungkapan penyerahan
modal dari pemiliknya) dan kabul (ungkapan menerima modal dan persetujuan
mengelola dari pedagang), sedangkan menurut jumhur ulama’ menyatakan bahwa
rukun Mudharabah sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Wahab adalah:
1.
Sighat, yakni
adanya ijab kabul diantara dua orang yang melakukan perjanjian Mudharabah
2.
‘Al Qidani,
yakni adanya modal selama Mudharabah tersebut berlangsung
3.
Mal, yakni
adanya modal selama Mudharabah tersebut berlangsung
4.
Kerja atau
amal, yakni adanya tenaga atau kerja setelah dana diperoleh
5.
Keuntungan atau
ribkh, yakni adanya keuntungan yang jelas dalam pembagian masing-masing.
Untuk
masing-masing rukun tersebut diatas terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi:
a.
Pemodal dan
pengelola
Dalam Mudharabah ada dua pihak yang
berkontrak yaitu menyediakan dana (shahibul mal) dan pengelola (mudharib).
Syarat keduanya adalah sebagai berikut:
1)
Pemodal dan
pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara hukum
2)
Keduanya harus
mampu bertindak sebagai wakil dari masing-masing pihak
b.
Modal (mal)
Modal adalah sejumlah uang yang
diberikan oleh penyedia dana atau pengelola untuk tujuan menginvestasikannya
dalam aktivitas Mudharabah. Untuk itu, modal harus memenuhi syarat-syarat
berikut : 1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya (yaitu mata uang) 2)
Modal harus tunai. Namun, beberapa ulama membolehkan modal Mudharabah berbentuk
asset perdagangan, misalnya investory. Pada waktu akad, nilai asset tersebut serta
biaya yang telah terkandung di dalamnya (historical cost) harus dianggap
sebagai modal Mudharabah.
c.
Nisbah
(keuntungan)
Keuntungan adalah
jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Keuntungan adalah tujuan
akhir Mudharabah. Namun, keuntungan itu terikat oleh syarat berikut:
1)
Keuntungan
harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenakan mengambil
seluruh keuntungan tanpa membagi pada pihak yang lain
2)
Proporsi
keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan
proporsi tersebut harus dari keuntungan. Misalnya 60% dari keuntungan untuk
pemodal dan 40% dari keuntungan untuk pengelola.
3)
Kalau jangka
waktu akad Mudharabah relatif lama, tiga tahun ke atas, maka nisbah keuntungan
dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu.
4)
Kedua belah
pihak harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang ditanggung pemodal dan
biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola. Kesepakatan ini penting karena
biaya akan mempengaruhi nilai keuntungan.
d.
Ijab qabul
Ucapan (sighat) yaitu penawaran dan
penerimaan (ijab qabul) harus diucapkan oleh kedua belah pihak guna menunjukkan
kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak.
2.2 Musaqah
2.2.1
Pengertian
Musaqah
Menurut bahasa musaqah diambil dari kata
al-saqah, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya). Atau
pohon-pohon yang lainnya yang mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian
tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.[4]
Di dalam pengertian syara’ Musaqah
adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila
sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Ia merupakan persekutuan perkebunan
untuk mengembangkan pohon, dimana pohon berada pada satu pihak dan penggarapan
pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua
belah pihak, dengan prosentasi yang mereka sepakati. Misalnya : setengah,
sepertiga, atau lainnya.
Penggarap
disebut musaqi. Dan pihak ain disebut sebagai pemilih pohon. Yang dimaksud kata
pohon dalam masalah ini adalah: Semua yang ditanam agar dapat bertahan selama
satu tahun keatas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhirnya dalam
pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak. Untuk pohon yang tidak berbuah imbalan untuk
musaqi adalah berbentuk pelepah dan kayu serta semacamnya. [5]
2.2.2
Hukum dan dasar
Musaqoh
Musaqah disyari’atkan
berdasarkan Sunnah. Para ahli Fiqh sependapat bolehnya musaqah ini, karena
melihat hal ini dibutuhkan. Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat tidak boleh.
Akan tetapi menurut kebanyakan ulama,
hukum musāqāh itu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
عن ابن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلي الله عليه وسلم عامل اهل
خيبر بشطر ما يخرج منها من ثمر او زرع
Artinya : Dari
Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh
dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanaman”(HR.Muslim)
Musāqāh
juga didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama), karena sudah merupakan
suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia dengan jalan
memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu. hal ini sesuai dengan Firman
Allah dalam surat alMaidah ayat 2, yaitu:
Artinya : “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(Q.S. al-Māidah: 2).
Ayat diatas
menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba-hambanya yang beriman untuk
saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan meninggalkan kemungkaran.
Dengan wujud saling tolongmenolong orang berilmu membantu orang dengan ilmunya,
orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi
satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan.
2.2.3
Rukun dan
syarat Musaqoh
Untuk musaqah
ada dua rukunnya:
a.
Yang punya
kebun dan tukang kebun
b.
Ada kebun,
semua pohon yang berbuah, boleh diparohkan demikian juga hasil pertahunan untuk
palawija pun boleh.
c.
Pekerjaan
hendaklah ditentyukan masanya seperti satu tahun, dua tahun atau lebih,
sekurang-kurang masa kira-kira menurut adat dalam masa itu kebun sudah mungkin
berbuah.
d.
Buah, hendakah
ditentukan bagian masing-masing dengan sepakat keduanya diwaktu akad.[6]
e.
Ijab
f.
Qabul
Ijab dengan
qabul dinyatakan sah dengan apa saja yang menunjukkan hal itu, baik berupa
ucapan, tulisan maupun bahasa isyarat, selama itu keluar dari orang yang berhak
bertindak.[7]
Untuk musaqah syaratkan
hal-hal berikut ini:
a.
Di tentukan
masanya
b.
Orang yang
mengerjakan sendirian (tidak dengan
pemiliknya)
c.
Orang yang
mengerjakan mendapat sebagian yang telah ditentukan[8]
d.
Akad
berlangsung sebelum nampak baiknya buah atau hasil[9]
e.
Pohon yang
dimusaqohkan harus diketahui terlebih dahulu oleh kedua belah pihak
2.3 Muzaraah dan Mukabaroh
Dalam hukum Islam, bagi hasil dalam usaha pertanian dinamakan
Muzara’ah dan Mukhabarah. Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang
hampir sama, hanya dibedakan dari benih dan bibit tanaman. Muzara’ah secara
bahasa merupakan suatu bentuk kata yang mengikuti wazan (pola) mufa’alah dari
kata dasar al-zar’u yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan). [10]
Kata مزارعة adalah masdar dari Fi’il Madli زارع dan fi’il Mudlori’ يزارع yang secara
bahasa mempunyai pengertian tanam, menanam (to plant, v)[11]
Sedangkan kata مخابرة merupakan masdar dari fi’il Madli خابر
dan fi’il Mudlari’ يخابر yang secara bahasa mempunyai pengertian tanah gembur, lunak.[12]
Secara istilah Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian
antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang
jumlahnya menurut kesepakatan bersama, tetapi pada umumnya paroan sawah atau
fifty-fifty untuk pemilik tanah dan penggarap tanah.[13]
Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, Muzara’ah adalah pemilik
tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan
suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2 ,
1/3 atau kurang atau lebih menurut pesetujuan bersama.
Muzara’ah dan mukhabarah memiiki persamaan yaitu usaha mengerjakan
tanah orang yang hasilnya di bagi. Yang membedakannya yaitu :
a.
Muzara’ah
berarti mengerjakan tanah orang lain dengan imbalan sebagian hasilnya dan biaya
pengerjaan ditanggung pemilik tanah.
b.
Mukhabarah berarti mengerjakan tanah dengan
hasilnya dibagi biaya pengerjaan ditanggung orang yang mengerjakan.
Hukum dari muza’rah dan mukhabarah pun diperselisihkan ada yang
membolehkan dan ada yang tidak. Pihak yang membolehkan berasalasan pada hadist:
عن ابن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلي الله عليه وسلم عامل اهل
خيبر بشطر ما يخرج منها من ثمر او زرع
Artinya : Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan
kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan
perjanjian: mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan
maupun hasil tanaman”(HR.Muslim)
Dan hadist yang melarang akan paroan tanah semacam ini mereka
beralasaan dengan beberapa hadist, salah satunya dari kitab hadist bukhori dan
muslim yaitu pada hadist :
عن رافع بن خديج
قال كنا اكثر الانصار حقلا فكنا نكري الارض علي ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت
هذه ولم تخدج هذه فنهانا عن ذلك (روه : بخري)
Artinya : “Berkata Rofi’ bin Khadij : Di antara anshor yang paling
banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk
mereka yang mengerjakanny. Terkadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik
dan yang lain tidak berhasil maka oleh karnanya Rasulullah SAW melarang paroan
dengan cara demikian.” (H.R Bukhori Muslim)
Adapun hadist yang melarang
tadi maksudnya hany apabila di tentukan penghasilan dari sebgian tanah mesti
kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu
mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari
sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang di larang oleh nabi Muhammad
SAW dalam hadist yang melarang itu, karena pekerjaan yang demikian bukanlah
dengan cara adil dan insyaf dan juga tidak diketahui presentase bagian masing-
masing.
2.3.1 Rukun dan Syarat Muzara’ah
1. Rukun-rukun dalam Akad Muzara’ah Jumhur ulama’ yang membolehkan
akad Muzara’ah menetapkan rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah
adalah :
a.
Ijab qabul (akad)
b.
Penggarap dan pemilik tanah (akid)
c.
Adanya obyek (ma’qud ilaih)
d.
Harus ada ketentuan bagi hasil
2.3.2 Syarat-
syarat muzara’ah dan mukhabarah yaitu :
a. berakal
b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksakan)
c. keadaan
keduanya tidak bersifat mubazir
d. baligh
(sampai sedikitnya umur 15 tahun)
Syarat-syarat ini
semuanya sama menjadi penjual dan pembeli
Dalam menyewa
tanah disyaratkan keadaan sewa diketahui dalam beberapa hal yaitu; jenisnya,
kadarnya, dan sifatnya.
2.4 Hiwalah
2.4.1
Pengertian hiwalah
Kata hiwalah diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal
(perpindahan). Yang dimaksud di sini adalah memindahkan hutang dari tanggungan
muhil menjadi tanggungan muha’alaih. Muhil adalah sebagai yang berhutang. Muhal
adalah sebagai orang yang menghutangkan dan Muhal ‘alaih adalah orang yang
melakukan pembayaran hutang.
Hiwalah dilaksanakan sebagai tindakan yang tidak membutuhkan ijab
dan qobul dan menjadi sah dengan sikap yang menunjukan hal tersebut.[14]
Yang dimaksudkan dengan hiwalah, ialah pemindahan hutang atas
hutang orang lain. Timbulnya sebagai akibat dari peristiwa hukum hutang piutang
bersegi, yaitu terjadinya minimal tiga pihak yang melibatkan diri dalam
peristiwa itu secara berkaitan.
Misalnya : Doni menghutangkan sesuatu pada Rini, dan Rini
menghutangkan sesuatu pada Sasi. Dalam hutang pitang ini Rini atas persetujuan
Doni menyuruh Sasi membayar hutangnya kepada Doni dengan berpindahnya kewajiban
Rini kepada Sasi itu berarti Rini tidak mempunyai hubungan hukum hutang piutang
lagi kepada Doni.[15]
2.4.2 Rukun:
1.
Muhil (orang
yang berhutang dan berpiutang)
2.
Muhtal (orang
yang berpiutang)
3.
Muhal ‘alaihi
(Orang yang berhutang)
4.
Hutang muhil
kepada muhtal
5.
Hutang Muhal
‘Alaihi terhadap Muhil
6.
Ijab Qobul
(Akad)
2.4.3 Syarat :
1.
Pihak yang
berhutang yang diwajibkan mengalihkan pembayaran hutang itu mampu melunasi
pembayaran hutangnya. Kemampuan ini harus diketahui untuk menjaga kemungkinan
jangan sampai terjadi tidak ada pelunasan
2.
Pemindahan
pembayaran utang dapat dilakukan dengan syarat jumlah hutang, jenis, dan
akadnya sama.
3.
Bahwa kedua hak
tersebut diketahui dengan jelas.
BAB
III
Kesimpulan
Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang lebih
bermanfaat dengan cara yang telah ditentukan seperti jual beli, sewa menyewah,
upah mengupah, minjam-meminjam, bercocok tanam, berserikat dan lain – lain.
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana
pihak pertama (shahibul mall) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola, keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola,
seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si
pengelola maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Jadi intinya, dalam bermuamalah dalam hal sewa menyewa dan bercocok
tanam semuanya atas kesepakatan dan ridho dari kedua belah pihak ataupun dari
pihak yang bersangkutan demi terwujudnya maslahah umat manusia.
Daftar Pustaka
Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry.1961.Kamus Indonesia-Arab-Inggris. Jakarta :
Mutiara,
, hlm. 299.
Abdul Sjamali.1992. Hukum
Islam Asas-asas hukum islam I, hukum islam II.
Bandung
: Mandar Maju. Hlm 165.
Ahmad Warson Munawir.1997.Kamus
Indonesia-Arab-Inggris. Surabaya :
Pustaka Progresif. Hlm. 319.
Ir. Muhammad Syakir Sula.Asuransi
Syariah.Hlm.329.
Masyfuk Zuhdi.1997.Masail
Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam).Jakarta : PT.
Toko
Gunung Agung.Hlm.130.
Sayyid Sabiq. 1987.Fikih
Sunnah.Bandung: PT.Alma’arif.Hlm.42.
Wahbah Zuhaily. Al-Fiqhu
al-Islamu wa Adilatuh.Beirut Libanon : Dar al-Fikr,tth. Hlm. 613.
[1] Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, h. 36
[2] ibid
[3] Ir.
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, h 329
[4] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 145.
[5] Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1987), 165
[6] Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam. (Jakarta : Attahiriyah, 1976) hal 288-289
[7] Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1987), hal. 166
[8]
Moh.Rifa’i,dkk. Kifayatul Akhyar. 1982. Semarang : Cv. Toha Putra. Hal. 223-224
[9] Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1987), hal. 167
[10] Wahbah
Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuh, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t. th,
hlm. 613.
[11] Abd.
Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Jakarta : Mutiara, 1961,
hlm. 299.
[12] Ahmad
Warson Munawir, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Surabaya : Pustaka Progresif,
1997, hlm. 319.
[13] Masyfuk
Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), Jakarta : PT. Toko Gunung
Agung, 1997, hlm. 130.
[14] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung:
PT.Alma’arif, 1987), hal. 42
[15] Abdul
Sjamali, Hukum Islam Asas-asas hukum islam I, hukum islam II.1992. Bandung :
Mandar Maju. Hal 165
Komentar
Posting Komentar