Langsung ke konten utama

FIQH MUAMALAH (KONSEP MUDHARABAH, MUSAQAH, MUZARA'AH & MUKHABARAH SERTA HIWALAH)




BAB I
PENDAHULUAN

Allah Subhanallah Wata’ala telah menjadikan manusia masing-masing berhajat kepada yang lain, supaya mereka bertolong-tolongan, tukar-menukar keperluan, dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam atau perusahaan dan lain-lain. Baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemslahatan umum. Dengan cara demikian hidup mayarakat menjadi teatur dan subur serta pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi oleh karena sifat tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri, agar supaya hak masing-masing jang sampai sia-sia dan juga menjaga kemslahatan umum, agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya karena dengan teraturnya muamalah penghidupan manusia menjadi terjamin sebaik-baiknya, perbantahan dan dendam mendendam tidak akan terjadi.
Nasehat lukmanul hakim pada anaknya. “ hai anakku berusahalah yntuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yang halal itu, tidaklah dia akan mendapat kemiskinan kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit; 1) tipis kepercayaan agamanya; 2) lemah akalnya; 3) hilang kesopanannya.
Jadi, yang dimaksud dengan muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang lebih bermanfaat dengan cara yang telah ditentukan seperti jual beli, sewa menyewah, upah mengupah, minjam-meminjam, bercocok tanam, berserikat dan lain – lain.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Mudharabah

2.1.1        Pengertian Mudharabah
Mudharabah diambil dari lafadz Ad-Drarb Fi Al-ard yaitu perjalanan untuk berdagang. [1] Firman Allah :
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه
 Artinya : Dan yang lain, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah.(Q.S. : 73 :20)
            Adapula yang menyebutkan qiradh dan mudhrabah yang berasal dari lafadz Al-qardhu yang berarti Al Qath’u (memotong), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh.
       Definisi mudhrabah yaitu akad antara kedua belah pihak untuk sahnya seorang (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan. Dan laba dibagi dua sesuai kesepakatan. [2]
            Wabah Az-Zuhailli dalam al-Fiqih al-islam wal adillatuhu mengatakan bahwa definisi Mudharabah adalah pemilik harta (robbul mal) memberikan kepada mudharib (orang yang bekerja atau pengusaha) suatu harta supaya dia mengelola dalam bisnis dan keuntungan dibagi diantara mereka berdua mengikuti syarat yang mereka buat.
              Sedangkan, Afzalur Rahman memberikan definisi Mudharabah sebagai suatu kontrak kemitraan (pertnership) yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada orang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama. Pihak pertama, supplier atau pemilik modal, disebut shahibul mal dan pihak kedua, pemakai atau pengelola atau pengusaha disebut mudharib. [3]
        Jadi secara lengkap, Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama (shahibul mall) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

2.1.2        Dasar hukum mudharabah
           Secara umum, landasan syari’ah Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini.
1.      Al-Qur’an
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ الله
Artinya : Dan yang lain, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah. (QS. 73: 20)
            Yang menjadi wajhud atau argumen dari surat Al-Muzzammil ayat 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata Mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Yang dimaksud yaitu perjalanan dari suatu tempat untuk berdagang mencari rizki dan mencari harta halal.
2.      Hadist
عَنْ صَالِحِ بْنِ صُهَيْبَ عَنْ أَبِيْهَ قَالَ رَسُوْلَ االلهِ صَلَّى االلهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ فِيْهِنَّ اَلْبَرَآَهُ البَيْعَ إِلَى أَجَلِ وَاْلمُقَارَضَةِ وَاْلخِلاَطَ اْلَبَرُّباِلشَّحِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ
            Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,”tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (Mudharabah), dan mencampuri gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”(HR. Ibnu Majah No. 2280, kitab AtTijarah).
3.      Ijma’
          Rasululah pernah melakukan mudharabah dengan Khadijah, dengan modal daripadanya (Khadijah) beliau pergi ke syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat menjadi Rasul.
4.      Qiyas
           Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah (mengambil upah untuk menyiram tanaman). Ditinjau dari segi kebutuhan manusia, karena sebagian orang ada yang kaya dan ada yang miskin, terkadang sebagian orang memiliki harta tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya dan ada juga orang yang tidak mempunyai harta tetapi mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.

2.1.3        Rukun dan syarat Mudhabarah
Menurut ulama’ mazhab Hanafi, rukun Mudharabah tersebut hanyalah ijab (ungkapan penyerahan modal dari pemiliknya) dan kabul (ungkapan menerima modal dan persetujuan mengelola dari pedagang), sedangkan menurut jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun Mudharabah sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Wahab adalah:
1.      Sighat, yakni adanya ijab kabul diantara dua orang yang melakukan perjanjian Mudharabah
2.      ‘Al Qidani, yakni adanya modal selama Mudharabah tersebut berlangsung
3.      Mal, yakni adanya modal selama Mudharabah tersebut berlangsung
4.      Kerja atau amal, yakni adanya tenaga atau kerja setelah dana diperoleh
5.      Keuntungan atau ribkh, yakni adanya keuntungan yang jelas dalam pembagian masing-masing.
Untuk masing-masing rukun tersebut diatas terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi:
a.      Pemodal dan pengelola
            Dalam Mudharabah ada dua pihak yang berkontrak yaitu menyediakan dana (shahibul mal) dan pengelola (mudharib). Syarat keduanya adalah sebagai berikut:
1)      Pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara hukum
2)      Keduanya harus mampu bertindak sebagai wakil dari masing-masing pihak

b.      Modal (mal)
            Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh penyedia dana atau pengelola untuk tujuan menginvestasikannya dalam aktivitas Mudharabah. Untuk itu, modal harus memenuhi syarat-syarat berikut : 1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya (yaitu mata uang) 2) Modal harus tunai. Namun, beberapa ulama membolehkan modal Mudharabah berbentuk asset perdagangan, misalnya investory. Pada waktu akad, nilai asset tersebut serta biaya yang telah terkandung di dalamnya (historical cost) harus dianggap sebagai modal Mudharabah.
c.       Nisbah (keuntungan)
       Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Keuntungan adalah tujuan akhir Mudharabah. Namun, keuntungan itu terikat oleh syarat berikut:
1)      Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenakan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi pada pihak yang lain
2)      Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan. Misalnya 60% dari keuntungan untuk pemodal dan 40% dari keuntungan untuk  pengelola.
3)      Kalau jangka waktu akad Mudharabah relatif lama, tiga tahun ke atas, maka nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu.
4)      Kedua belah pihak harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang ditanggung pemodal dan biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola. Kesepakatan ini penting karena biaya akan mempengaruhi nilai keuntungan.
d.       Ijab qabul
          Ucapan (sighat) yaitu penawaran dan penerimaan (ijab qabul) harus diucapkan oleh kedua belah pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak.

2.2  Musaqah
2.2.1        Pengertian Musaqah
       Menurut bahasa musaqah diambil dari kata al-saqah, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya). Atau pohon-pohon yang lainnya yang mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.[4]
          Di dalam pengertian syara’ Musaqah adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
          Ia merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon, dimana pohon berada pada satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak, dengan prosentasi yang mereka sepakati. Misalnya : setengah, sepertiga, atau lainnya.
                   Penggarap disebut musaqi. Dan pihak ain disebut sebagai pemilih pohon. Yang dimaksud kata pohon dalam masalah ini adalah: Semua yang ditanam agar dapat bertahan selama satu tahun keatas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhirnya dalam pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak.  Untuk pohon yang tidak berbuah imbalan untuk musaqi adalah berbentuk pelepah dan kayu serta semacamnya. [5]

2.2.2        Hukum dan dasar Musaqoh
     Musaqah disyari’atkan berdasarkan Sunnah. Para ahli Fiqh sependapat bolehnya musaqah ini, karena melihat hal ini dibutuhkan. Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat tidak boleh.
          Akan tetapi menurut kebanyakan ulama, hukum musāqāh itu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
عن ابن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلي الله عليه وسلم عامل اهل خيبر بشطر ما يخرج منها من ثمر او زرع
Artinya : Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanaman”(HR.Muslim)
       Musāqāh juga didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama), karena sudah merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu. hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat alMaidah ayat 2, yaitu:
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(Q.S. al-Māidah: 2).
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba-hambanya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan meninggalkan kemungkaran. Dengan wujud saling tolongmenolong orang berilmu membantu orang dengan ilmunya, orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan.

2.2.3        Rukun dan syarat Musaqoh
Untuk musaqah ada dua rukunnya:
a.       Yang punya kebun dan tukang kebun
b.      Ada kebun, semua pohon yang berbuah, boleh diparohkan demikian juga hasil pertahunan untuk palawija pun boleh.
c.       Pekerjaan hendaklah ditentyukan masanya seperti satu tahun, dua tahun atau lebih, sekurang-kurang masa kira-kira menurut adat dalam masa itu kebun sudah mungkin berbuah.
d.      Buah, hendakah ditentukan bagian masing-masing dengan sepakat keduanya diwaktu akad.[6]
e.       Ijab
f.       Qabul
Ijab dengan qabul dinyatakan sah dengan apa saja yang menunjukkan hal itu, baik berupa ucapan, tulisan maupun bahasa isyarat, selama itu keluar dari orang yang berhak bertindak.[7]
Untuk musaqah syaratkan hal-hal berikut ini:
a.       Di tentukan masanya
b.      Orang yang mengerjakan sendirian  (tidak dengan pemiliknya)
c.       Orang yang mengerjakan mendapat sebagian yang telah ditentukan[8]
d.      Akad berlangsung sebelum nampak baiknya buah atau hasil[9]
e.       Pohon yang dimusaqohkan harus diketahui terlebih dahulu oleh kedua belah pihak

2.3  Muzaraah dan Mukabaroh
Dalam hukum Islam, bagi hasil dalam usaha pertanian dinamakan Muzara’ah dan Mukhabarah. Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang hampir sama, hanya dibedakan dari benih dan bibit tanaman. Muzara’ah secara bahasa merupakan suatu bentuk kata yang mengikuti wazan (pola) mufa’alah dari kata dasar al-zar’u yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan). [10]
Kata مزارعة adalah masdar dari Fi’il Madli زارع dan fi’il Mudlori’ يزارع yang secara bahasa mempunyai pengertian tanam, menanam (to plant, v)[11]
Sedangkan kata مخابرة merupakan masdar dari fi’il Madli خابر dan fi’il Mudlari’ يخابر yang secara bahasa mempunyai pengertian tanah gembur, lunak.[12]
Secara istilah Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, tetapi pada umumnya paroan sawah atau fifty-fifty untuk pemilik tanah dan penggarap tanah.[13]
Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, Muzara’ah adalah pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2 , 1/3 atau kurang atau lebih menurut pesetujuan bersama.
Muzara’ah dan mukhabarah memiiki persamaan yaitu usaha mengerjakan tanah orang yang hasilnya di bagi. Yang membedakannya yaitu :
a.       Muzara’ah berarti mengerjakan tanah orang lain dengan imbalan sebagian hasilnya dan biaya pengerjaan ditanggung pemilik tanah.
b.       Mukhabarah berarti mengerjakan tanah dengan hasilnya dibagi biaya pengerjaan ditanggung orang yang mengerjakan.

Hukum dari muza’rah dan mukhabarah pun diperselisihkan ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Pihak yang membolehkan berasalasan pada hadist:
عن ابن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلي الله عليه وسلم عامل اهل خيبر بشطر ما يخرج منها من ثمر او زرع
Artinya : Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanaman”(HR.Muslim)
Dan hadist yang melarang akan paroan tanah semacam ini mereka beralasaan dengan beberapa hadist, salah satunya dari kitab hadist bukhori dan muslim yaitu pada hadist :
عن رافع بن خديج قال كنا اكثر الانصار حقلا فكنا نكري الارض علي ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه ولم تخدج هذه فنهانا عن ذلك (روه : بخري)
Artinya : “Berkata Rofi’ bin Khadij : Di antara anshor yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan  sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakanny. Terkadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil maka oleh karnanya Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian.” (H.R Bukhori Muslim)
Adapun hadist yang  melarang tadi maksudnya hany apabila di tentukan penghasilan dari sebgian tanah mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang di larang oleh nabi Muhammad SAW dalam hadist yang melarang itu, karena pekerjaan yang demikian bukanlah dengan cara adil dan insyaf dan juga tidak diketahui presentase bagian masing- masing.

       2.3.1  Rukun dan Syarat Muzara’ah
1. Rukun-rukun dalam Akad Muzara’ah Jumhur ulama’ yang membolehkan akad Muzara’ah menetapkan rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah adalah :
                          a. Ijab qabul (akad)
                          b. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
                          c. Adanya obyek (ma’qud ilaih)
                          d. Harus ada ketentuan bagi hasil

2.3.2 Syarat- syarat muzara’ah dan mukhabarah yaitu :
a.  berakal
b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksakan)
c. keadaan keduanya tidak bersifat mubazir
d. baligh (sampai sedikitnya umur 15 tahun)
            Syarat-syarat ini semuanya sama menjadi penjual dan pembeli
Dalam menyewa tanah disyaratkan keadaan sewa diketahui dalam beberapa hal yaitu; jenisnya, kadarnya, dan sifatnya.

2.4  Hiwalah
2.4.1        Pengertian hiwalah
Kata hiwalah diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal (perpindahan). Yang dimaksud di sini adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muha’alaih. Muhil adalah sebagai yang berhutang. Muhal adalah sebagai orang yang menghutangkan dan Muhal ‘alaih adalah orang yang melakukan pembayaran hutang.
Hiwalah dilaksanakan sebagai tindakan yang tidak membutuhkan ijab dan qobul dan menjadi sah dengan sikap yang menunjukan hal tersebut.[14]
Yang dimaksudkan dengan hiwalah, ialah pemindahan hutang atas hutang orang lain. Timbulnya sebagai akibat dari peristiwa hukum hutang piutang bersegi, yaitu terjadinya minimal tiga pihak yang melibatkan diri dalam peristiwa itu secara berkaitan.
Misalnya : Doni menghutangkan sesuatu pada Rini, dan Rini menghutangkan sesuatu pada Sasi. Dalam hutang pitang ini Rini atas persetujuan Doni menyuruh Sasi membayar hutangnya kepada Doni dengan berpindahnya kewajiban Rini kepada Sasi itu berarti Rini tidak mempunyai hubungan hukum hutang piutang lagi kepada Doni.[15]

2.4.2 Rukun:
1.      Muhil (orang yang berhutang dan berpiutang)
2.      Muhtal (orang yang berpiutang)
3.      Muhal ‘alaihi (Orang yang berhutang)
4.      Hutang muhil kepada muhtal
5.      Hutang Muhal ‘Alaihi terhadap Muhil
6.      Ijab Qobul (Akad)

2.4.3 Syarat :
1.      Pihak yang berhutang yang diwajibkan mengalihkan pembayaran hutang itu mampu melunasi pembayaran hutangnya. Kemampuan ini harus diketahui untuk menjaga kemungkinan jangan sampai terjadi tidak ada pelunasan
2.      Pemindahan pembayaran utang dapat dilakukan dengan syarat jumlah hutang, jenis, dan akadnya sama.
3.      Bahwa kedua hak tersebut diketahui dengan jelas.


BAB III
Kesimpulan
Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang lebih bermanfaat dengan cara yang telah ditentukan seperti jual beli, sewa menyewah, upah mengupah, minjam-meminjam, bercocok tanam, berserikat dan lain – lain.
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama (shahibul mall) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Jadi intinya, dalam bermuamalah dalam hal sewa menyewa dan bercocok tanam semuanya atas kesepakatan dan ridho dari kedua belah pihak ataupun dari pihak yang bersangkutan demi terwujudnya maslahah umat manusia.










Daftar Pustaka

Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry.1961.Kamus Indonesia-Arab-Inggris. Jakarta :
         Mutiara, , hlm. 299.
Abdul Sjamali.1992. Hukum Islam Asas-asas hukum islam I, hukum islam II.
         Bandung : Mandar Maju. Hlm 165.
Ahmad Warson Munawir.1997.Kamus Indonesia-Arab-Inggris. Surabaya :
          Pustaka Progresif. Hlm. 319.
Ir. Muhammad Syakir Sula.Asuransi Syariah.Hlm.329.
Masyfuk Zuhdi.1997.Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam).Jakarta : PT.
         Toko Gunung Agung.Hlm.130.
Sayyid Sabiq. 1987.Fikih Sunnah.Bandung: PT.Alma’arif.Hlm.42.
Wahbah Zuhaily. Al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuh.Beirut Libanon : Dar al-Fikr,tth. Hlm. 613.



[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 36
[2] ibid
[3] Ir. Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah, h 329
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 145.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1987), 165
[6] Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. (Jakarta : Attahiriyah, 1976) hal 288-289
[7] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1987), hal. 166
[8] Moh.Rifa’i,dkk. Kifayatul Akhyar. 1982. Semarang : Cv. Toha Putra. Hal. 223-224

[9] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1987), hal. 167
[10] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuh, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t. th, hlm. 613.
[11] Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Jakarta : Mutiara, 1961, hlm. 299.
[12] Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997, hlm. 319.
[13] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1997, hlm. 130.
[14]  Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT.Alma’arif, 1987), hal. 42
[15] Abdul Sjamali, Hukum Islam Asas-asas hukum islam I, hukum islam II.1992. Bandung : Mandar Maju. Hal 165

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Pintar Cewek Juara

Buku Pintar Cewek Juara How   To   Win Competitions And Be a princess on your own Penulis : Zivanna Letisha Siregar Tebal Halaman   : xv + 203 halaman Penerbit : Gagas Media Do good and feel good. Be proud of whoever you are. Be proud of everything you do. Wear your invisible crown proudly. Because you are the one and only, the beautiful you. -zivanna Letisha/ zizi- Alur cerita dalam buku ini mengulas tentang sebuah pengalaman yang pernah dilewati oleh penulis.   Dalam buku ini, penulis menjabarkan strategi untuk bergelut dalam dunia kompetisi secara rinci mulai dari menapaki anak tangga pertama hingga akhirnya berhasil sebagai pemenang. Penulis yang memiliki pengalaman dibidang model yaitu pernah mendapatkan gelar   sebagai Putri   Indonesia pada tahun 2008 ini, menggunakan bahasa yang santai yang digunakan dalam kehidupan sehari- hari dalam menyampaikan ceritanya. Seperti kata ‘nulis’ dan juga banyak kata-kata yang menggunakan bahasa asing yang tidak semua

Aktualisasi Pendidikan Tafsir dan Pemasyarakatan Al-Qur’an Zaman Now

Oleh : Umi Sholehah  Al-Qur’an sejak diturunkan Allah melalui Rasul-Nya Muhammad saw yang berisikan pedoman untuk dijadikan petunjuk, baik untuk masyarakat yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an maupun masyarakat sesudahnya hingga akhir zaman. Namun, hal yang perlu diingat ialah Al-Qur’an diturunkan bukan kepada masyarakat yang hampa atau kosong akan nilai, melainkan masyarakat yang sarat akan nilai sosial dan nilai budaya/kultural berikut dengan ikatan-ikatan primordial di masing-masingnya. Oleh karena itu, turunnya Al-Qur’an pun berhadapan langsung dengan nilai sosial dan kultural yang sudah mapan. Dalam hal ini Al-Qur’an harus menerobos batasan-batasan geografis dan demografis dengan segala implikasinya. Lebih lanjut Al-Qur’an pun harus mampu menembus lapisan-lapisan kultural dan sosial dengan segala keragaman dan keunikan yang ada. Tidak hanya itu dinamika sosial yang semakin berubah, terutama akumulasi prestasi dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern, semakin menam