Langsung ke konten utama

Krisis Karakter Merupakan Refleksi Krisis Pendidikan





“Pendidikan yang berkarakter akan menciptakan banyak intelektual terpelajar, bukan intelektual yang kurang ajar”

Berbagai  fenomena sosial yang muncul di negeri ini melalui media masa semakin  cukup mengkhawatirkan. Fenomena penyelesaian masalah melalui kekerasan sudah umum terjadi. Pemaksaan dan penekanan kehendak dari satu kelompok terhadap kelompok yang lain sudah dianggap biasa. Hukum begitu jeli pada kesalahan tapi buta akan keadilan.
Apalagi fenomena pendidikan yang semakin hari tampaknya semakin tidak kondusif. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) tahun 2015. OECD merupakan organisasi internasional yang menganut ekonomi pasar bebas. Hasil survey yang OECD lakukan ini berdasarkan pada hasil tes di 76 negara yang menunjukan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Indonesia menempati peringkat 69 dari 76 negara (sikerok.com). Sedangkan berdasarkan survey United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2013 terhadap kualitas pendidikan di negara-negara berkembang tepatnya di Asia Pasifik, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara, sedangkan untuk kualitas guru berada pada urutan ke 14 dari 14 negara (Kompas.com).
Anomali-anomali pendidikan di Indonesia tidak hanya sampai di situ saja. Pendidikan yang  sejatinya memanusiakan manusia justru menjadi dunia mengerikan yang membinasakan moral manusia. Kita lihat contoh kasus pemukulan siswa oleh temannya hingga tewas, kasus bullying, hingga kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru dan karyawan  kepada siswanya (KataSumbar.com). Sekolah yang merupakan salah satu pilar pendidikan yang seharusnya memberikan kontribusi bagi pengembangan budi pekerti siswa, justru berbalik menjadi sarang dekadensi moral anak.
Kemerosotan karakter bangsa Indonesia tersebut menjadi momok yang paling menakutkan bagi maju tidaknya sebuah peradaban, berkualitas tidaknya suatu bangsa dan tinggi rendahnya suatu kebudayaan. Esensi pendidikan yang selama ini tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang seharusnya diartikan secara menyeluruh dan mendalam bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya dijadikan sebuah alat untuk menaikan derajat ekonomi saja, tetapi juga harus dapat memanusiakan manusia. Namun, nyatanya hal tersebut tidak terinternalisasi dengan baik, bahkan hanya sekedar pemanis kata dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Konsep pendidikan yang telah digaungkan oleh Ki Hajar Dewantara seorang tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidikan nasional  progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
“Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977 : 14)”
Ki Hajar Dewantara juga menyebutkan bahwa sekolah sebagai taman. Artinya ketika peserta didik datang ke sekolah dia akan merasa senang hati, antusias untuk belajar dan enggan pulang. Bukan, malah peserta didik semakin takut ke sekolah dan memilih game online sebagai tempat meluangkan waktunya. Jikalau demikian, esensi dari tujuan pendidikan yang semula membentuk karakter peserta didik akan hilang dan sia-sia.
Senada dengan Ki Hajar Dewantara dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembang­kan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berbagai tujuan telah digaungkan sebagai bentuk kepedulian para pemikir pendidikan terha  dap bangsa ini. Tentunya berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. 
Berbicara mengenai pendidikan karakter tidak terlepas dari karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Sang Pencipta, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Menurut Foerster dalam (Quo Vadis Pendidikan Kita?, 2016 : 134) mengatakan bahwa ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut terhadap risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi, di mana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini dapat dilihat dari penilaian atas keputusan pribadi tanpa pengaruh dari desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Dalam konteks keindonesiaan, penerapan pendidikan karakter merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Para putra dan putri bangsa telah banyak memborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional. Telah banyak yang mengenyam pendidikan ke luar negeri. Mereka-merekalah yang membutuhkan penghormatan serta penghargaan sebagai bagian implementasi pendidikan karakter.
Namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiatisme dalam ujian, dan sejenisnya, senantiasa marak menghiasi sejumlah media. Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral.
Realitas mencengangkan tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders dan pendidik yang tadinya diharapkan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Pada dasarnya semua persoalan tersebut bermuara pada pendidikan. Sementara itu, apakah persoalan pendidikan tersebut muncul karena gagalnya pendidikan karakter yang di bangun?
Sejatinya dalam penerapan pendidikan karakter tersebut menurut kacamata penulis lebih memberikan tanggung jawab kepada guru sebagai pengajar. Sejatinya, guru tidak hanya transfer of knowledge melainkan transfer of value. Tidak hanya dikembangkan dari aspek intelektual saja sehingga mengabaikan nilai-nilai moral, nilai-nilai kebudayaan, dan lain-lain. Guru lebih mengarahkan pada hal- hal yang lebih bersifat kontekstual, maksudnya adalah mengaitkan materi pelajaran langsung dengan fenomena yang ada.
Selain peserta didik, character building juga harus terinternalisasi dalam diri seorang guru tersebut. Penanaman karakter yang baik harus ada dari dalam diri seorang guru terlebih dahulu, sehingga dalam mentransformasikan nilai-nilai moral pun akan sangat mudah di pahami dan di terapkan oleh peserta didik, jika guru juga di bekali dengan pendidikan karakter terlebih dahulu. Penanaman moral pada peserta didik tidak akan tercapai apabila budaya di masyarakat sekitar pun tidak tertanam moral yang baik.
Sebagai proses tranformasi, pendidikan merupakan proses transformasi nilai-nilai moral berupa karakter dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sehingga proses tersebut melahirkan pribadi yang luhur, beradab,kreatif, dan produtif yang diharapkan mampu menjadi penggerak di mana dia hidup. Jika proses transformasi moral tersebut tidak menghasilkan generasi yang kreatif, produktif serta berbudi luhur sesuai dengan tujuan pendidikan baik dalam UU SISDIKNAS maupun pembukaan UUD 1945 maka, krisis karakter merupakan krisis pendidikan saat ini.
Saat ini banyak sekali orang pintar namun minim akan moral. Saat ini jarang sekali seseorang yang memiliki moral baik. Menggadaikan kejujuran demi mendapatkan segala sesuatu, menggadaikan kehormatan demi mendapatkan apa yang diinginkan, tergelincir dalam arus modernitas yang semakin jauh dengan budaya-budaya lokal sendiri. Hal tersebut justru berdapampak buruk sehingga menjadi semakin jauh dan enggan mengakui budaya sendiri.
Krisis karakter merupakan krisis kemanusiaan, setiap orang melakukan sesuatu dengan sesukanya tanpa memikirkan akibatnya. Di dalam masa krisis yang kita alami saat ini tampaklah manusia-manusia tanpa disiplin, manusia yang menerapkan hukumnya sendiri, manusia rakus dan kehilangan pertimbangan akal sehat. Padahal manusia yang pandai adalah manusia yang memikirkan seagala sesuatu dengan pertimbangan terlebih dahulu dilihat dari berbagai sudut pandang dalam mengambil suatu keputusan.
Menurut H.A.R.Tilaar dalam buku (Paradigma Baru Pendidikan Nasional, 2002 : 51) mengatakan bahwa, apabila ada teorema mengatakan bahwa manusia menyimpan sifat kebinatangan dan bahaya apabila tidak diarahkan, maka dikhawatirkan pendidikan nasional di Indonesia  telah melahirkan “manusia –manusia buaya” tanpa budaya. Hanya manusia-manusia yang berkarakter dan berbudaya yang dapat mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan.
Menanamkan  nilai-nilai karakter seperti kejujuran merupakan tanggung jawab moral bagi seorang guru atau pendidik agar peserta didik tidak keluar dari jalurnya atau melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal tersebut tentunya tidak serta merta menjadi tanggung jawab seorang guru saja, empat pilar utama pendidikan pun turut berkontribusi dalam menggalakan pendidikan karakter ini yaitu di mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat dan temapat ibadah. Tentunya demi tercapainya suatu pendidikan yang masif membutuhkan waktu dan komitmen yang kuat dari semua pelaku pendidikan untuk membangun keberadaban bangsa melalui pendidikan karakter.
Meski sebenarnya ada dua alat kontrol untuk tidak melakukan penyimpangan (baca : ketidakjujuran) sebagaimana yang dijelasakan oleh Karl Raimund Popper. Pertama adalah kontrol internal, yakni adanya disposisi batin, keutamaan, dan kesediaan mengikuti hati nurani yang bersih, dan kesediaan mengevaluasi diri. Kedua adalah kontrol eksternal, yakni merupakan dorongan ketaatan hukum, norma sosial, dan kesadaran pada tanggung jawab sosial.
Akhirnya menurut kacamata penulis kompleksitas permasalahan pendidikan berada pada pendidikan karakter. Sementara kunci pendidikan karakter ada pada pendidiknya, bukan di kurikulum ataupun buku. Oleh karena itu muliakanlah guru, agar guru dapat tenang dan fokus dalam membentuk generasi penerus bangsa yang memiliki karakter yang tangguh dan kuat dalam membangun peradaban dan masa depan bangsa. (Umi Sholehah/Mahasiswi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

FIQH MUAMALAH (KONSEP MUDHARABAH, MUSAQAH, MUZARA'AH & MUKHABARAH SERTA HIWALAH)

BAB I PENDAHULUAN Allah Subhanallah Wata’ala telah menjadikan manusia masing-masing berhajat kepada yang lain, supaya mereka bertolong-tolongan, tukar-menukar keperluan, dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam atau perusahaan dan lain-lain. Baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemslahatan umum. Dengan cara demikian hidup mayarakat menjadi teatur dan subur serta pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi oleh karena sifat tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri, agar supaya hak masing-masing jang sampai sia-sia dan juga menjaga kemslahatan umum, agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya karena dengan teraturnya muamalah penghidupan manusia menjadi terjamin sebaik-baiknya, perbantahan dan dendam mendendam tidak akan terjadi. Nasehat lukmanul hakim pada anaknya. “ hai anakku berusahalah yntuk

Resensi Buku Pintar Cewek Juara

Buku Pintar Cewek Juara How   To   Win Competitions And Be a princess on your own Penulis : Zivanna Letisha Siregar Tebal Halaman   : xv + 203 halaman Penerbit : Gagas Media Do good and feel good. Be proud of whoever you are. Be proud of everything you do. Wear your invisible crown proudly. Because you are the one and only, the beautiful you. -zivanna Letisha/ zizi- Alur cerita dalam buku ini mengulas tentang sebuah pengalaman yang pernah dilewati oleh penulis.   Dalam buku ini, penulis menjabarkan strategi untuk bergelut dalam dunia kompetisi secara rinci mulai dari menapaki anak tangga pertama hingga akhirnya berhasil sebagai pemenang. Penulis yang memiliki pengalaman dibidang model yaitu pernah mendapatkan gelar   sebagai Putri   Indonesia pada tahun 2008 ini, menggunakan bahasa yang santai yang digunakan dalam kehidupan sehari- hari dalam menyampaikan ceritanya. Seperti kata ‘nulis’ dan juga banyak kata-kata yang menggunakan bahasa asing yang tidak semua

Aktualisasi Pendidikan Tafsir dan Pemasyarakatan Al-Qur’an Zaman Now

Oleh : Umi Sholehah  Al-Qur’an sejak diturunkan Allah melalui Rasul-Nya Muhammad saw yang berisikan pedoman untuk dijadikan petunjuk, baik untuk masyarakat yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an maupun masyarakat sesudahnya hingga akhir zaman. Namun, hal yang perlu diingat ialah Al-Qur’an diturunkan bukan kepada masyarakat yang hampa atau kosong akan nilai, melainkan masyarakat yang sarat akan nilai sosial dan nilai budaya/kultural berikut dengan ikatan-ikatan primordial di masing-masingnya. Oleh karena itu, turunnya Al-Qur’an pun berhadapan langsung dengan nilai sosial dan kultural yang sudah mapan. Dalam hal ini Al-Qur’an harus menerobos batasan-batasan geografis dan demografis dengan segala implikasinya. Lebih lanjut Al-Qur’an pun harus mampu menembus lapisan-lapisan kultural dan sosial dengan segala keragaman dan keunikan yang ada. Tidak hanya itu dinamika sosial yang semakin berubah, terutama akumulasi prestasi dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern, semakin menam