Oleh
: Umi Sholehah
Malam ini bulan terlihat bahagia. Menebarkan senyumnya kepada bumi. Suasana teduh dan sejuk pun sangat mendukung. Lalu lintas yang ramai lancar membuatku berkendara dengan cepat. Pasalnya aku harus sampai kos pukul 22:00 WIB. Angin yang membawa udara dingin perlahan menembus pelindung kulitku. Sesekali aku menarik jaket yang setengah terbuka dan berkibar ke belakang terkena hembusan angin.
Aku sampai di
kos tepat sebelum gerbang kos tertutup. Kulihat sebuah mobil berwarna silver
terparkir di dalam gerbang, sehingga jalanku untuk menuju parkir motor sedikit sempit. Aku membuka helmku. Aku
mendapati seseorang keluar dari dalam kamar samping kamarku. Sesosok laki-laki
paruh baya menggunakan kaos berkerah warna biru serta celana jins agak longgar.
Berkulit kuning langsat, hidungnya berukuran sedang dan sedikit mancung,
tingginya kira-kira 170 cm. Gagah dan lumayan tampan untuk ukuran lelaki
seperti itu. Aku menerka-nerka kira-kira usianya sekitar 28-30 tahunan. Persis
seperti omku.
Laki-laki itu
kemudian mengucapkan terimakasih dan akan datang dua hari lagi. Sambil
tersenyum malu-malu, tetangga kamarku pun membalas ucapannya dan akan menunggu
kedatangannya 2 hari lagi. Aku menuju kamarku. Di depan pintu kamar, aku
mencari-cari kunci yang entah di tas bagian mana aku menaruhnya. Sementara aku
sibuk mencari kunci kamarku, lelaki tadi menyapaku dengan sopan dan santun.
“Baru pulang
mbak?”
“Oh iya mas.”
Aku membalas dengan senyum dan sedikit malu karena tak kunjung masuk kamar.
“Saya permisi
dulu ya mbak. Sudah larut.”
“Oh iya mas
monggo. Hati-hati di jalan.”
Lelaki itu
pun masuk ke mobilnya dan berlalu begitu saja setelah pamit pulang. Saat itulah
kunci kamarku ditemukan. Kenapa setelah laki-laki itu pergi, kuncinya baru ketemu?
Gumamku sedikit kesal, karena tidak mau tetanggaku mengira bahwa aku menguping
pembicaraanya.
“Udah ketemu
mbak kuncinya?” Tanya Nisa tetangga kamarku.
“Udah kok
nis. Aku masuk dulu ya.”
“Iya mbak.
Aku juga mau nutup gerbang dulu.”
“Iya nis.”
Aku membalasnya dengan senyum dan buru-buru masuk ke dalam kamar untuk
istirahat.
Hari ini
terasa lelah sekali. Belum lagi mengenai pria tadi prasangkaku mulai muncul
kembali. Menanyakan siapa sebenarnya dia. Aku tak pernah mengetahui sebelumnya.
Aku memang jarang berada di kos saat pagi dan siang. Kebiasaanku ialah keluar
pagi dan pulang malam. Aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kota dan
mampir ke kos teman untuk mendiskusikan tugas yang padat dan menumpuk. Dosen
sepertinya tidak memberikanku jeda untuk bernafas lega.
Ku letakkan
tas dan tugas-tugasku diatas meja. Kemudian ku raih handuk yang tergantung di
jemuran. Aku membasuh tubuhku setelah keluar seharian mencari bahan-bahan
dalam tugas kuliahku. Di sela-sela membasuh tubuh, aku terus berpikir siapa
laki-laki paruh baya yang sudah seminggu ini selalu datang dan pulang larut malam.
Bahkan keluar dari kamar Nisa. Aaah kejadian minggu ini benar-benar mengganggu
otakku.
Aku tidak
paham dan tau betul bagaimana sifat dan sikap Nisa. Karena memang kami tidak
pernah ngobrol secara intens. Hanya kenal dan menyapa saja setiap kali bertemu.
Sesekali pun ngobrol soal kuliah dan asal daerahnya. Tapi setahuku Nisa adalah
perempuan yang baik dan sopan. Ia adalah cerminan perempuan sholihah yang
banyak diidam-idamkan lelaki. Aku mulai berpikir kembali, apa mungkin itu
kakaknya Nisa. Namun, yang ku tahu Nisa adalah anak sulung. Aaah pikiranku
melayang dan membuat prasangka-prasangka tak baik pada Nisa, tetanggaku itu.
Aku bergegas keluar dari kamar mandi untuk menghindari setan-setan penghuni ini
meracuni pikiranku.
Dua hari
kemudian, malamnya aku kembali dikejutkan dengan mobil yang sama terparkir di
dalam area kos. Seperti hari-hari sebelumnya ia keluar dari kamar Nisa. Namun
ada yang lebih mengejutkan lagi, ia datang tidak sendiri melainkan bersama
perempuan yang memakai jilbab motif bunga dengan kemeja putih dan jins. Aku pun
mulai berspekulasi apakah perempuan ini istrinya? Pikiranku mulai brutal
kembali saat aku mendapati mata Nisa sembab karena menangis. Parahnya aku
mendapati Nisa masih sedikit sesegukan. Pikiranku mulai liar. Ada apa sebenarnya?
Siapa laki-laki dan perempuan itu dan apa hubungannya dengan Nisa? Apakah Nisa
dilabrak sang istri seperti berita mengenai perebut laki orang yang sedang
viral. Aku mulai kacau. Aku hanya berdiri terdiam dan sungguh tak mengerti
dengan apa yang terjadi. Laki-laki dan perempuan itu pun hanya memberikan
senyum kepadaku sebelum akhirnya pergi. Begitupun dengan Nisa yang pergi
menutup gerbang setelah melempar senyum sedikit getir kepadaku. Aku masuk kamar
tanpa bertanya apapun pada Nisa.
Aku mulai
membasuh tubuhku seperti biasa. Namun, saat ini pikiranku tertuju pada mata
sembab dan sesegukan Nisa setelah menangis. Pikiranku menerka siapa laki-laki
dan perempuan yang bersamanya. Pikiranku menjadi semakin liar setelah
memikirkannya. Aku pun bergegas menyelesaikan mandiku, sebelum pikiranku
terlalu jauh menerka kejadian yang dialami Nisa. Malam ini sungguh terasa aneh.
Aku menceritakan kejadian ini pada kekasihku. Pikiran yang sama juga terjadi
pada kekasihku mengenai dugaannya kepada Nisa. Namun, kekasihku lebih
bijaksana, menasehatiku untuk menanyakan hal tersebut secara langsung pada Nisa. Aku memutuskan untuk menanyakan kejadian malam ini pada Nisa besok pagi.
Pagi ini
aku memulai hariku tidak seperti biasa.
Semalaman aku memikirkan segala hal berkaitan dengan tetanggaku yang harus aku tanyakan
dan cek kebenarannya. Agar pikiranku tidak menghasilkan prasangka buruk. Aku
mengetuk kamar Nisa, namun tak ada jawaban dari dalam kamar. Ku lihat motor Nisa
pun sudah tidak ada. Tumben sepagi ini Nisa tidak ada di kamarnya. Ku dengar
seseorang membuka gerbang. Ternyata itu mbak Rini salah satu penjaga kos yang
tinggal di depan kosku.
“Pagi mbak.
Tumben pagi-pagi gini belum berangkat. Biasanya udah ngilang aja.”
“Hehehe iya
mbak. Mau nikmati pagi di kos dulu. Bentar lagi berangkat kok. Oh ya mbak, Nisa
kemana ya. Tumben udah gak ada di kos?”
“Oh mbak Nisa
udah pergi mbak, bilangnya si ada kegiatan di masjid An-Nur gitu mbak. Itu
mas-mas yang sering kesini ngadain syukuran.”
“Syukuran.
Mas-mas itu calonnya Nisa po mbak?”
“Waaah bukan
mbak, Itu masnya udah nikah mbak. Semalem kan ada istrinya dateng to.”
Mendengar
ucapan mbak Rini aku kaget dan dugaan pertama mengenai perempuan dan laki-laki
itu benar. Mereka adalah sepasang suami-isteri.
“Iya mbak,
aku liat kok semalem. Emang si mas-mas itu sering dateng. Ngapain e mbak
kok sampe malem sih pulangnya?”
“Loh mbak
Vina belum tau to? Itu masnya minta diajarin baca qur’an sama mbak Nisa.”
“Haaaaah
ngaji Qur’an?” Aku tersentak dengan penjelasan mbak Rini. Kaget dan jauh sekali
dari prasangka-prasangkaku.
“Iya mbak.
Jadi tiap habis magrib kesini sampe jam 10anlah. Kalo pagi kan dia kerja,
makanya milih malem. Awal-awal sih kesini sendiri. Terus saya disuruh nemenin
mbak setiap kali beliau ngaji. Biar gak ada fitnah kan. Nah kemaren itu sama
istrinya. Istrinya baru pertama kali juga belajar ngaji.”
“Oh gitu ya
mbak, tapi pas aku pulang mbak Rini kok gak ada?
“Ealah iya
wong mbak Vina ini pulangnya malem terus. Biasanya kalo habis selesai ngaji ya saya
langsung pulang. Itu si Fadlan kalau tidur kan kudu di keloni ibuknya. Hehehe.”
“Owalah,
pantes kalo aku pulang gak pernah liat mbak Rini. Terus kemaren Nisa kenapa nangis
mbak?
“Kalo kemaren
mbak Nisa nangis karena terharu denger istrinya Pak Roy itu mbak. Istrinya Pak
Roy itu baru belajar ngaji lagi setelah
20 tahunan gak belajar ngaji. Nah istri beliau itu baru aja sembuh dari penyakit
kankernya. Sering keluar masuk rumah sakit, udah di kemo berkali-kali. Makanya
kurus gitu kan. Nah ajaibnya setelah dingajiin terus sama Pak Roy, istrinya
udah merasa jauh lebih baik. Dan alhamdulillah kata dokter sembuh total mbak.
Saya aja nangis loh denger cerita istri Pak Roy itu. Nah Pak Roy hari ini
ngadain syukuran, terus ngundang mbak Nisa buat ngisi pengajiannya.” Jelas mbak
Rini yang masih memgang sapu dan serok sampah.
Aku terdiam, seolah pikiran dan hatiku tercabik-cabik oleh cerita mbak Rini. Selama ini
aku sudah salah sangka, aku sudah curiga dan memikirkan hal konyol yang tidak
akan mungkin Nisa lakukan. Sungguh jahatnya pikiran-pikiranku ini. Aku hanya
memukul-mukul kepalaku ini di depan Mbak Rini sambil bergumam sendiri. Bodohnya
diriku ini.
“Loh mbak
Vina, kenapa to malah mukuli kepala sendiri?”
“Hmmm gak
papa mbak hehehe, pusing aja.” Aku melempar senyum dan kemudian masuk kamar.
“Mbak Vina.”
Panggilnya tiba-tiba menghentikan langkahku.
“Iya mbak.”
“Mending
ajakin anak-anak kos kumpul bareng, Istilah kerennya hang out gitu loh
mbak. Biar makin akrab.”
Aku hanya
tertawa mendengar kata-kata Mbak Rina. Kemudian masuk ke dalam kamar untuk
siap-siap berangkat ke kampus.
-Umi Sholehah-
-Umi Sholehah-
Komentar
Posting Komentar