“Pendidikan bukanlah alat
politik tetapi politiklah yang menjadi alat untuk menyukseskan program
pemerataan pendidikan”
Pendidikan
memegang peranan penting dalam pembangunan suatu bangsa. Baik itu pembangunan
dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, budaya dan
lain-lain. Keharusan
bagi bangsa yang ingin maju adalah ditandai dengan majunya pendidikan suatu
bangsa tersebut. Hal itu
merupakan proses pemanusiaan dalam masyarakat berbudaya luhur yang menjadi ekses dari adanya pendidikan. Oleh sebab
itu, pendidikan
wajib diperuntukkan bagi segenap rakyat bukan
hanya untuk
golongan tertentu.
Secara
harfiah,
makna pendidikan telah dijelaskan dalam Pasal 1 Undang- undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003,
bahwa
pendidikan merupakan
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendlian diri, kepribadian,
kecerdsan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sementara
pengertian yang lebih sederhana dan umum tentang pendidikan menurut Abu Ahmadi
dan Nur Uhbiyati dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan (2007: 71),
pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan yang baik untuk kehidupan
umat manusia merupakan kebutuhan mutlak, yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama
sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan
aspirasi (cita-cita) untuk maju sejahtera dan bahagia sesuai konsep pandangan hidup
mereka. Secara umum pendidikan adalah pengaruh, bantuan atau tuntutan yang
diberikan oleh orang yang bertanggungjawab kepada anak didik.
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
para pendiri bangsa (founding fathers)
kita telah menyadari
betul pentingnya usaha dalam mencerdaskan kehidupan bangsa
yang mereka tuangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-4. Yang juga
diperkuat pada Pasal 31 Ayat (1) Undang- undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Setiap
warga Negara berhak mendapat pendidikan.”
Dan telah diperkuat lagi dalam pasal 5 ayat (5) Undang- Undang SISDIKNAS No.20 Thn. 2003 yang
menekankan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (long
life education).
Secara yuridis, segala
hal yang berkaitan tentang pendidikan nasional telah disusun dengan sangat
terperinci. Namun, seperti lagu lama, pada kenyataannya
kebijakan yang tertuang dalam berbagai
undang-undang belum terealisasi
dengan optimal. Pada kurun sejak Proklamasi sampai hari ini, pendidikan di
Indonesia masih banyak dirundung berbagai persoalan terutama masalah
pemerataan pendidikan. Padahal
jelas, tujuan utama dari pendidikan adalah memanusiakan manusia dengan
mengembangkan segala potensi, membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat.
Hal ini, terlihat
dengan banyaknya daerah-daerah yang belum mendapatkan akses pendidikan secara
maksimal. Selama ini diklaim, kendala terbesar terletak pada akses pendidikan yang masih sulit didapatkan oleh seluruh masyarakat di samping banyaknya masalah lain seperti,
akses transportasi, komunikasi, informasi, dan lain-lain. Contoh kecil, seperti dilansir dari Tribun Medan (03/04/2017) di Sumatera Utara saja, terdapat empat daerah yakni Pakpak
Bharat, Padang Lawas Utara, Nias Utara dan Nias Barat belum bisa melangsungkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), sedang pemerintah begitu bersemangat untuk menerapkan sistem ujian
seperti itu. Data itu hanyalah segelintir potret dari tidak meratanya
pendidikan di Indonesia. Padahal dalam Undang-undang No.20 Thn. 2003 Pasal 5
Ayat (3) sudah sangat tegas dijelaskan bahwa warga negara di daerah terpencil
atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh layanan
pendidikan khusus. Namun, kembali
lagi peratuan tersebut masih terlalu sulit untuk diwujudkan.
Pada jenjang
pendidikan formal, secara umum perluasan akses dan peningkatan pemerataan
pendidikan masih menjadi masalah utama. Dalam hal ini anak-anak yang memerlukan
perhatian khusus (children with special needs) juga belum
sepenuhnya mendapat layanan pendidikan secara baik, termasuk dalam pendidikan
dasar. Anak-anak yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah mereka yang
mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa. Diketahui bahwa anak merupakan generasi penerus
bangsa, sehingga jaminan pendidikan terhadap anak haruslah menjadi perhatian
pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Dalam mendukung upaya pemerataan pendidikan, memang tidaklah mudah
mewujudkan hal demikian mengingat banyak faktor kendala untuk mewujudkan cita-cita
tersebut. Namun, upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung pemerataan pendidikan
adalah dengan mengoptimalkan sinergitas antar pihak selain dari upaya lain yang
dapat mempercepat pemerataan pendidikan di Indonesia, seperti peningkatan kualitas
tenaga pendidik, biaya pendidikan yang murah, sarana dan prasarana pendukung yang memadai, serta
kurikulum yang
kontekstual dan tepat sasaran.
Adapun sinergitas yang dimaksud
penulis adalah pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam
pengimplementasiannya tidak hanya berpusat pada satu kebijakan saja. Namun juga harus terintegrasi dengan pemerintah daerah dan pihak-pihak
lain yang terkait. Sekarang
ini yang terjadi adalah, semua pihak merasa paling berhak dan mampu untuk
menyelenggarakan pendidikan yang baik. Berjalan sendiri-sendiri dengan standar
yang dibuat masing-masing. Sehingga, masyarakat menjadi korban sistem dan
pelaksanaan pendidikan yang tumpang tindih. Sebetulnya skenario
buruk di atas tidak akan sampai terjadi manakala pemerintah, sejak dari pusat hingga
daerah memiliki standar dan fokus tujuan pendidikan yang sama yang disusun
bebarengan dengan mekanisme implementasinya di daerah-daerah. Yang sudah barang
tentu, harus menempatkan kondisi masyarakat, kesiapan infrastruktur dan tenaga
pengajar sebagai pertimbangan utamanya.
Tak hanya sinergitas yang dilakukan oleh pemerintah pusat saja. Masalah
pemerataan pendidikan juga harus dibarengi dengan profesionalitas guru yang
mengajar pada bidangnya masing-masing. Bagaimana sistem akan terlaksana, jika
persoalan profesionalitas guru masih dipertanyakan. Minimnya gaji yang
diberikan kepada guru juga dampak dari menurunnya profesionalitas guru. Sehingga
tak dapat dipungkiri banyak guru-guru yang enggan mengajar di daerah terpencil,
tertinggal, dan terbelakang. Dengan kata lain, kesejahteraan guru, dimana pun tempat mengajarnya,
wajib terpenuhi. Jika tidak, selamanya guru-guru akan lebih memilih mengajar di
kota dengan gaji dan fasilitas yang layak, ketimbang di daerah terpencil.
Desentralisasi pedidikan merupakan kebijakan yang sangat baik jika
diterapkan sesuai dengan peraturan yang telah berlaku. Dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 11 pada; ayat (1) Pemerintah dan Pemeintah Daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi; ayat (2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.
Hal tersebut sudah tercantum bahwa pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah memiliki peranan yang sangat besar dalam memajukan
pendidikan.
Pemerintah daerah yang dalam hal ini memiliki otonomi daerah untuk
mengelola kemajuan daerahnya, seharusnya memiliki ruang atau bidang khusus
dalam menangani anomali-anomali di daerahnya. Tidak hanya persoalan guru saja,
persoalan pemerataan pendidikan di daerah-daerah yang sejatinya terkendala
dalam hal dana pendidikan, harusnya memiliki alterntif lain dalam mengelola
dana khusus pendidikan. Sehingga pemerintah daerah tidak bersifat pasif
menunggu dana dari pemerintah pusat semata.
Tak hanya peran pemerintah daerah saja yang beperan aktif dalam
memajukan pendidikan, masyarakat pun memiliki hak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan seperti
yang termaktub pada UU No.20.Thn 2003 Pasal 8. Kewajiban dari masyarakat pun
tak luput dalam memberikan dukungan berupa sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dengan peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,
dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak
bangsa.
Sebenarnya dari berbagai sumber yang
penulis amati, sudah banyak langkah pemerintah dalam meminimalisir terkait dengan pemerataan pendidikan. Adapun upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi
tidak meratanya pendidikan di antaranya dengan mengalokasikan anggaran
pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan nasional, membebaskan biaya bagi Sekolah Dasar (SD), membuat program dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hingga bagi Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dan Sekolah Menengah Umum (SMU) mendapatkan bantuan bagi siswa-siswi yang
kurang mampu.
Sekali lagi, harus
diakui upaya-upaya pemerintah tersebut (masih) belum berjalan
secara maksimal. Hal ini tercermin dari masih tingginya angka putus sekolah
yang terjadi di tengah masyarakat, khususnya pada jenjang SMP dan SMU, juga
tidak menutup kemungkinan pula terjadi angka putus sekolah dari tingkat SD
menuju tingkat SMP. Padahal pemerintah telah mencanangkan Wajib Belajar Dua
Belas Tahun (WAJAR 12 Tahun) meningkat dari yang sebelumnya adalah Wajib
Belajar Sembilan Tahun. Belum lagi terdapat Kartu Indonesia Pintar yang
diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu. Serta terdapat program baru yaitu
Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T) dengan
waktu yang ditentukan oleh pemerintah.
Oleh sebab itu,
kebijakan pemerintah terkait pendidikan harus juga dikontekstualisasikan dengan
keadaan budaya masyarakat sekitar. Tidak ada lagi disparitas pendidikan antara
yang kaya dan miskin, antara wilayah yaitu pedesaan dan perkotaan, antar
daerah, dan disparitas antar gender. Sinergitas antar pemangku kekuasaan di
negara yang telah diberikan amanah terkait kemajuan bangsa haruslah
dimanfaatkan sebaik mungkin demi kemaslahatan umat. Dan optimalisasi
peraturan-peraturan yang sudah di tetapkan dengan begitu banyak pasal dan ayat
segera diikuti dan dilaksanakan sebaik mungkin. Sehingga hal tersebut dapat
meminimalisir tidak meratanya pembangunan pendidikan di daerah-daerah tak
terjangkau.
Satu hal yang juga penting untuk
diperhatikan adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Dasar dan Menengah (Kemendikbud Damen) harusnya tidak hanya bekerjasama
dengan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) saja yang
berkutat pada persoalan pendidikan. Namun, dalam hal ini penulis mendorong
adanya keterlibatan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (Kemen PPPA) yang berkaitan erat dengan pemberdaayaan perempuan di ranah
keluarga. Proses sosialisasi terkait dengan pentingnya pendidikan pun dapat
tersampaikan. Adanya sinergitas dengan Kemen PPPA adalah hal yang dapat
diimplementasikan, mengingat pendidikan informal merupakan jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan yang tak kalah penting dalam upaya pemerataan
pendidikan di seluruh Indonesia.
Melihat kondisi
yang tidak berjalan sebagaimana mestinya,
pendidikan di Indonesia hanya tambal sulam
persoalan bangsa tanpa ada perbaikan permanen yang
berujung pada cita-cita bangsa
seperti termaktub pada pembukaan UUD 1945. Jika tidak ada
perubahan yang berkelanjutan, terstruktur dan masif pada sektor pendidikan,
maka mustahil negara akan maju, satu sistem kebijakan yang berkaitan dengan
keberlangsungan hidup saja tidak berjalan dengan baik. Pendidikan haram dijadikan sebagai alat untuk mencapai
kepentingan politik. Politiklah yang seharusnya dijadikan alat untuk mencapai pendidikan nasional yang ideal dan merata.
-Umi Sholehah-
Komentar
Posting Komentar