Oleh : Umi Sholehah
Pada
zaman sekarang ada sebagian masyarakat yang sudah maju dalam segi pergaulan,
informasi, komunikasi, kehidupan, dan lingkungan. Maka Pendidikan dirasa
penting bagi anak-anak di masa yang akan datang. Namun, tidak menutup
kemungkinan bahwa terdapat masyarakat yang masih terbelakang, belum mengenal
teknologi, ataupun kemajuan zaman. Orang-orang seperti merakalah yang masih
menanamkan nilai-nilai tradisional yang ada pada adat istiadatnya.
Pertumbuhan
dan perkembangan yang kian pesat ini tidak boleh dibiarkan terus menerus bahkan
sebagai orang tua justru terjebak dalam masa yang biasa disebut dengan “masa
kekinian”. Anak-anak yang masih kecil sudah mengerti alat komunikasi (native
IT) dan dengan leluasa membuka segala macam yang ia suka. Karenanya dengan
majunya kehidupan modern ini sangat penting adanya pendidikan agar dapat
mengkontrol hal-hal yang buruk agar tidak terjadi pada generasi penerus bangsa.
Namun, Pendidikan yang seperti apa yang dapat membentuk itu semua? terutama
berkaitan dengan akhlak seorang peserta didik.
Di
Indonesia sudah menerapkan kurikulum 2013 (kurtilas) yang di dalamnya meliputi
sikap spiritual, sikap sosial, sikap pengetahuan dan sikap keterampilan. Dari
kurikulum tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah menginginkan timbulnya
keempat sikap tersebut. Penerapan sikap
tersebut dirasa penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mengingat mulai
terkikis moral anak oleh perkembangan zaman terutama pada sikap spiritual dan
sikap sosial. Harapan terbesarnya adalah agar anak-anak Indonesia tetap
berakhlakul karimah dan memiliki sikap yang mencerminkan orang Indonesia yaitu
berbudi luhur.
Jika
membahas mengenai pendidikan salah satu filsuf muslim yang terkenal dengan
filsafat yang bercorak tassawuf yaitu Al-Ghazali juga menaruh perhatian
mengenai sebuah Pendidikan. Bagaimana sebuah Pendidikan berjalan dengan ideal
dan dapat membekas di hati para orang-orang yang terdidik. Menurut Al-Ghazali
dalam (Zainudin, 2009 : 19) yang termaktub pada buku Pendidikan Islam dari
Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, pendidikan adalah menghilangkan akhlak
yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dengan demikian pendidikan
merupakan suatu proses kegiatan yang sistematis untuk melahirkan
perubahan-perubahan yang progressive pada tingkah laku manusia.
Dari
pengertian di atas Al-Ghazali menitik beratkan pada tingkah laku manusia yang
sesuai dengan ajaran Islam sehingga dalam melakukannya perlu adanya suatu
proses yang diajarkan secara indoktrinatif dengan memunculkan berbagi mata
pelajaran. Rumusan mengenai pendidikan tentunya merupakan rumusan filsafat yang
dipikirkan secara mendalam yang menurut Imam Al-Ghazali pendidikan yang baik
adalah Pendidikan yang menghantarkan umatnya pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Abu Muhammad Iqbal dalam bukunya mengatakan bahwa pandangan Al-Ghazali mengenai ilmu,
pengetahuan dan manusia serta para guru, dikemukakan sebagai berikut :
“
Manusia yang paling mulia di bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang paling
berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah seorang yang berusaha membimbing,
meningkatkan, dan menyempurnakan serta mensucikan hati hingga hati itu menjadi
dekat kepada Allah SWT. Karena itu mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat
dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang pertama mengajarkan ilmu pengetahuan
adalah ibadah kepada Allah SWT, dan dari sudut pandang lainnya adalah
menunaikan tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan
khalifah Allah, karena Allah telah membukakan hati seorang alim dengan ilmu dan
dengan ilmu pula seorang alim menampilkan identitasnya.”
Imam
Tolkhah dan Ahmad Barizi mengatakan bahwa al-Ghazali memiliki pandangan terkait
ilmu dapat dilihat dari dua segi yaitu ilmu proses dan ilmu obyek.
Ilmu dapat dikatan sebagai obyek, yaitu apanya. Beliau ingin membangun
sebuah paradigm pendidikan sesuai dengan pandangan dan falsafah hidup manusia.
Paradigm pendidikan yang dibangun harus mampu mengaktualisasikan kependidikan
dalam bingkai falsafah hidup. Secara sistematik bangunan keilmuan atau
kependidikan Ghazali bisa dijelaskan sebagai berikut :
(1)
Ilmu yang disyariatkan adalah ilmu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Dan bukan diperoleh melalui aktifitas akal, seperti berhitung, bukan pula dari
pengalaman seperti ilmu kedokteran dan bukan pula dari pandangan seperti fiqh; (2) Ilmu yang tidak disyari’atkan adalah ilmu
yang tidak disyari’atkan kepada nabi dan diperoleh melalui pengalaman,
penalaran, pendengaran, dan sebagainya; (3) Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang
berkaitan dengan kemaslahatan dunia, seperti dokter, berhitung, matematika, dan
sebagainya; (4) Ilmu yang wajib sebagian adalah semua ilmu yang berkaitan
dengan urusan keduniaan yang cukup dipelajari oleh sebagian diantara sekian
banyak orang secara specialis-professional; (5) Ilmu yang diutamakan
adalah ilmu yang secara profesional lebih dalam dari ilmu yang wajib sebagian;
(6) Ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak dikehendaki oleh syari’ah seperti
ilmu sihir, ilmu jimat, dan sejenisnya ; (7) Ilmu yang diperbolehkan adalah
seperti ilmu sastra, syair, ilmu sejarah dan sebagainya.
Semua
ilmu yang telah dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali merupakan ilmu yang sudah
digariskan dalam ajaran Islam. Maka, semua ilmu tersebut harus diejawantahkan
melalui pendidikan sejak dini. Karena sejak kecil anak-anak sudah memiliki
insting kejiwaan-keilmuan yang harus dibangun melalui pendidikan. Namun, beliau
juga mengemukakan bahwa anak kecil layaknya kertas putih suci yang bisa
dituliskan apapun sesuai dengan lingkungannya.
Kerangka
paradigmatik Imam Ghazali ternyata sejalan dengan paradigm kaum emiprisme
Inggris yaitu John Locke yang mengatakan bahwa anak lahir bagaikan kertas putih
yang kepadanya bisa dituliskan apa saja. Konsep ini dalam ilmu jiwa dikenal
dengan nama Tabula Rasa. Empirisme locked dibangun berdasarkan prinsip
tunggal “semua pengetahuan berawal dari pengalaman”. Akal budi dan
spekulasi yang abstrak dalam terminologi filsafat harus diletakan pada
pengalaman, dalam kemampuan belajar dan mengetahui tentang dunia dengan panca
indra. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari
panca indra, apa yang kita dengar, rasa, lihat, dan bau semuanya adalah
pengetahuan yang tanpa kita sadari sebelumnya.
Dalam
kajian ilmu jiwa terdapat tiga aliran pendidikan yaitu; (1) Nativisme,
yang menurut J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis
mengatakan bahwa memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa
sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Pandangan ini mengemukaan bahwa
anak atau bayi lahir sudah membawa bakat masing-masing yang nantinya akan
ditentukan oleh dirinya sendiri; (2) Empirisme, yang menurut John Locke
memandang bahwa anak lahir bagaikan kertas putih yang kepadanya bisa dituliskan
apa saja; (3) Konvergensi, menurut Louis William Steren teori ini
merupakan gabungan antara nativisme dan empirisme yang menggabungkan arti
penting hereditas (pembawaan) dan lingkungan tempat dia tinggal.
Sebagaimana
empiris Locke, beliau juga berpandangan bahwa anak itu memiliki potensi yang
sama untuk menerima hal yang baik dan hal yang buruk. Karenanya Al-Ghazali dan
para psikolog modern memberikan batasan terkait dengan potensi bawaan dan
pengaruh lingkungan, watak/tabiat dan pembentukan watak/tabiat. Relasi keduanya
menggambarkan bahwa ada perbedaan watak/pribadi seseorang yang tidak
semata-mata dikembalikan ke Pendidikan, artinya berubah atau tidaknya watak
seseorang tidak hanya dilihat dari aspek pendidikan saja, tetapi watak juga
merupakan pretensi baginya.
Dengan
demikian terdapat dua pemikiran yang dapat disederhanakan menurut Al-Ghazali
yaitu pedidikan yang berfungsi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan pendidikan
yang berfungsi untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pemikiran Al-Ghazali
tentang pendidikan menonjolkan karakteristik religius moralis dengan tidak
mengabaikan urusan keduniaan sekalipun hal tersebut dijadikan alat untuk menggapai
kebahagiaan di akhirat. Dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali
menyatakan bahwa, “Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih
akhirat. Dunia adalah alat untuk menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang
tentu bagi orang-orang menjadikan dunia hanya sebagai alat dan tempat
persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal yang
kekal dan negeri yang abadi.”
Komentar
Posting Komentar