Malam
yang dingin menyelimuti seluruh desa yang besok pagi akan merayakan sebuah kemenangan.
Sebuah ledakan mengudara dan pecah ditengah-tengah gelapnya malam, memunculkan
beragam warna-warni yang indah. Suara takbir menggema dengan kerasnya dari tiap-tiap pegeras suara masjid.
Seolah ikut merayakan kemenangan pohon-pohon ikut bergembira ria, bertakbir
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Daunnya seolah bertakbir, batangnya bergoyang ke kiri
dan ke kanan disapa oleh angin yang turut serta bergembira.
Aku hanya bisa duduk di beranda rumah menatap kembang api
yang pecah di udara dengan indah. Hari kemenangan telah tiba. Kemenangan bagi
orang-orang yang menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Menahan
lapar dan dahaga, menahan amarah, serta menahan segala hawa nafsu yang ada pada
setiap manusia. Namun, bagaimana dengan yang tidak berpuasa? Apakah bisa
disebut menang juga? Wallahu a’lam bishawab, sesungguhnya hanya Allah yang maha
tau segalanya.
Malam ini adalah malam yang damai penuh dengan
keberkahan. Terdengar suara takbir yang menggema di seluruh penjuru dunia, yang
menggambarkan betapa maha besarnya Allah dan maha kecilnya kita. Di tengah
suara yang menggema, terselip suara anak-anak kecil ikut meramaikan malam ini
dengan melafadzkan takbir diiringi dengan kentongan yang dipukul. Tak luput
juga indra pembau ini merasakan bau masakan yang sedap dari dapur.
“Bel, cuci ayamnya, bulek mau bikin opor ayam.”
“Iya bulek. Bumbu opor apa aja bulek, wangi bener,” tanyaku
penuh penasaran.
“ Banyak, ada bawang putih, bawang merah, kunyit,
lengkuas, sere, ketumbar, semuanya dihaluskan jadi satu kemudian tinggal
dimasak dan ditambahkan santan,” jelas bulekku sambil mengoreng bumbu yang
telah dihaluskan.
Begitu pola setiap hari raya aku yang selalu membantu
bulek menyiapkan hidangan untuk besok ketika perayaan tiba. Aku mencoba
menyalakan handphoneku dan kudapati berbagai pesan muncul mengucapkan selamat
hari raya dan meminta maaf. Andai saja setiap hari seperti ini, ujarku dalam
hati. Saling membalas pesan baik dalam grup ataupun chat pribadi membuatku
menyingkir membantu bulek untuk pergi ke beranda.
Disanalah kulihat warna-warni petasan itu muncul kembali.
Gema takbir yang ramai. Dan suasana yang indah, membuat pikiranku melayang
jauh. Jauh ke tempat asalku yaitu tanah kelahiranku. Tahun ini adalah tahun ke
dua aku tidak merayakan hari kemenangan bersama bapak, ibuk, adik, dan mbah kakekku.
Aku yang jauh merantau untuk menuntut ilmu yang bisa pulang ke rumah bulek yang
lebih dekat dari sekolahku dengan alasan waktu.
Aku mulai merenung, menatap langit yang hitam namun
dihiasi warna-warni petasan. Setiap ledakan petasan yang memancarkan cahaya
memiliki kesan tersediri. Setiap takbir yang terdengar memiliki ingatan
tersendiri. Aku mulai melayang jauh mengikuti cahaya petasan yang semakin lama
semakin menghilang. Ingatanku kembali pada empat tahun yang lalu.
“Bel, Belaaa, sini bantuin ibuk masuk-masukin roti ke
toples terus tata di ruang tamu.”
“oke buk siap. Buk tak cobain ya. Ini kue apa?”
“Itu kue kering selai nanas. Itu enak. Tapi lebih enak
ini stik pedes,” sahut ibuk yang dengan cekatan menata kue-kue kering kedalam
toples.
“Weeh kalo itu aku mau banget bu.”
“Iya cepet diberesin. Habis itu nyetrika baju, mukena dan
sarung buat besok ya.”
“Iya siaap. Sobri ikut takbir keliling ya buk?” tanyaku
penasaran, karena sesungguhnya aku juga ingin ikut.
“Iya paleng sama bapakmu. Kalo sendirian gak ibuk kasih,
soalnya rame banget. Inget to tahun kemaren ada yang naik truk terus jatuh
gara-gara lehernya kesangkut kabel listrik.”
“Iya ngeri banget buk. Aku gak mau ikutlah, capek kalo
motoran. Kalo mobilan juga sumpek.”
“Iya makanya kamu nyetrika baju aja ya.” Goda ibukku
sembari membuka toples untuk mengisi dengan kue yang baru.
Aku hanya tersenyum mendengar ibu berkata demikian. Aku
memanglah anak perempuan satu-satunya ibuk dan bapak. Maka, sudah sewajarnya
jika aku membantu segala pekerjaan rumah orang tuaku. Itung-itung belajar
sebelum benar-benar membereskan pekerjaan rumah yang akan kutempati kelak
dengan suamiku.
Aaahh indahnya jika aku mengingat itu. Kenangan bersama
ibuk yang tak terlupakan. Masak bersama ibu, bapak, adik, kakek, dan nenekku. Mencicipi
bersama dan melakukan semuanya secara bersama-sama. Aku jadi ingat dulu
almarhumah nenek selalu membantu aku meringankan beban kerjaku yang diberikan
oleh ibuk. Terkadang juga menambah kerja. Namun, aku menikmatinya.
“Bel, ini bajunya mbah ti coba di gosok dikit biar
kerutannya ilang. Itu baju dulu pas zaman nenek ke mekkah masih bagus. Buat sholat
besok.”
“iya nek. Mana tak liat. Lah broklat semua nek. Nanti bela
coba setrika ya.”
“ ini juga ya bel yang kembang-kembang. Tapi nyetrikanya
jangan kepanasan.”
“iya. Loh ini baju yang kembaran sama kakek kan. Mana punya
kakek biar bela setrikain juga. Biar besok pas lebaran kembaran gitu kan keren.
heheh”
“owlah kebetulan ini bel. Sekalian sama sarung ya,” sahut
kakek dari dalam kamar yang ternyata sedang memilih sarung untuk di setrika.
“siap kek. Tapi besok angpaunya nambah hehehe,” ujarku
dengan penuh tawa.
Kakek dan nenek hanya tertawa sambil menemaniku
menyetrika dengan banyaknya baju hingga malam aku menyelesaikannya. Namun, aku
benar-benar bahagia. Bisa kumpul bersama keluarga adalah salah satu kebahagiaan
terbesarku. Melihat senyum mereka, canda mereka dan tangis mereka.
Aku terus terhanyut dalam ingatan kembang api empat tahun
silam ketika nenek masih berada di tengah-tengah keluarga dengan kehangatan dan
kelucuannya. Walaupun terkadang terdapat gelas pecah karena tersampar
tangannya, sapu jatuh karena ditendangnya, ataupun hal lucu lainnya aku yang
hampir saja diangakat oleh nenek yang dikira tumpukan baju di kursi. Itu semua
karena nenek mengidap katarak pada matanya.
Aku selalu teringat semua kenangan yang berada di rumah
itu. Indah seperti kembang api yang diledakan diantara gelapnya langit. Memancarkan
keindahan bagi siapa saja yang melihatnya. Namun, semuanya tidaklah lama. Semua
berubah ketika nenek meninggal. Bapak, ibuk, dan adikku pindah rumah. Sedangkan
Kakek tinggal bersama budeku. Dan aku merantau menuntut ilmu di pulau orang.
Sejujurnya aku ingin kembali ke empat tahun lalu. Dan aku
kini merindukan semuanya. Namun, hal tersebut sudah tidak dapat terulang. Ingatan
itu terus muncul apalagi ketika aku
menutun nenek untuk melaksanakan sholat iedul fitri ke lapangan yang jaraknya
lumayan jauh dari rumahku. Sedangkan kakek ikut bersama bapak mengendarai sepeda
motor.
“Bel... kamu rajin-rajin ke masjid kalo sholat, Kalo kita
sholatnya lebih jauh dan jalan pahala juga akan bertambah. Dan katanya
rumput-rumput pun akan berdoa kepada Allah untuk mendoakan kita.”
“Iya nek. Awas nek ada batu.”
“Iya, jangan lupa banyakin sholawat nabi, istighfar dan
berdoa. Oh ya besok aku kasih buku-buku doaku ya. Biar nanti kalo aku udah gak
ada cucuku bisa doain nenek.”
“Ya Allah nek, jangan gitu, Insyallah nenek sembuh. Dan bakal
liat aku di wisuda nanti sampe nikah malah hehehe.” Godaku pada nenek yang
memang sudah terkena katarak kurang lebih empat atau lima tahunan.
Namun takdir berkata lain, nenek meninggalkan kami semua setelah
beliau dapat melihat keindahan dunia lagi dan tentunya melihat jelas anak,
menantu serta cucunya. Penglihatan yang sembuh itu tidaklah lama. Ternyata terdapat
efek samping dari operasi tersebut yang mengahruskan nenek masuk rumah sakit
dan akhirnya meninggal. Meninggalnya nenek pun aku tidak sempat melihanya untuk
yang terakhir kali,
Setiap aku mengingatnya, dadaku sesak, kepalaku sakit,
dan seolah seseorang mencekikku hingga aku tidak dapat berkata apa-apa. Hanya air
mata yang mengalir deras di pipiku. Saat ini aku hanya merindu. Merindu nenek yang berharap dapat kembali lagi bersamaku. Bahkan
hari raya, adalah salah satu hari dimana aku sangat tersiksa. Pasalnya aku
seolah kehilangan separuh nyawaku yang hilang.
Hanya bisa menangis tersedu-sedu dan memohon kepada Tuhan
agar mengembalikan nenekku. Nenek yang sangat aku sayangi. Bahkan aku sampai
bertanya pada ibuku pada setahun setelah nenek meninggal, dimana nenek buk aku
menunggunya dan beliau gak pulang-pulang. Aku tau bahwa ibu merasakan kesedihan
yang amat ketika melihatku seperti itu.
Ingatanku pudar setelah aku mendengar dering handphone
dari sakuku. Ternyata itu ibuk yang menelfon. Ibu bertanya kabarku dan seperti
biasa bertanya bagaimana kabar bulekku. Dan berbincang dengan omku. Namun, sama
seperti mengingat nenek, mendengar suara ibu, bapak, dan adikku lewat handphone
membuatku tercekik dan berkata perlahan. Sambil menahan tangis aku memecahkan
suasana dengan candaanku kepada adikku.
Aku tau bahwa ibuk merasakan hal yang sama denganku yaitu
rindu. Rindu seorang ibu kepada anaknya yang telah lama tak dilihatnya. Rindu akan
semua kebersamaan yang telah dilalui. Rindu dengan canda dan tawa yang sering
bapak ciptakan. Dan rindu akan berkumpulnya bersama keluargaku. Rindu akan
keluarga yang indah, layaknya kembang api yang ledakannya memancarkan keindahan
dengan warna-warninya yang khas.
-Umi Sholehah-
Sibebek, Banjarnegara 2017
Komentar
Posting Komentar